https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

24 December 2006

Natal Itu Hadiah

NATAL adalah sebuah Hadiah (dengan “H”), begitulah seharusnya. Tapi hari-hari ini, pemahaman Natal seperti itu mungkin sudah tak relevan lagi, tak laku lagi. Natal, seperti juga banyak hal lain di sekitar kita, kini adalah juga komoditas, adalah kalkulasi cost dan benefit yang rinci, njelimet, dan rewel. Tuhan telah dikemas dalam paket-paket massal dan seragam untuk dijajakan di ruang-ruang benderang dan wangi, yang dipenuhi orang lalu-lalang yang hidupnya tampaknya juga serba lapang dan gampang.

Gereja pun akan mendadak penuh – meskipun ada ancaman teror bom – oleh umat yang kembali bakal disuguhi kisah kuno “kelahiran di kandang” dan segala kisah ikutannya. Kadang-kadang saya bertanya apakah yang ada di benak para pastor dan pendeta yang entah untuk keberapa kalinya harus mengantarkan lagi kisah itu setiap tahun. Tak ada masalah dengan kisah itu sendiri. Kisah-kisah itu bukan hanya indah, pun sarat muatan sakramental.

Masalahnya adalah bagaimana agar yang “indah” itu, yang sakramental itu, tidak lalu tinggal menjadi onggokan klise yang tak menarik hati lagi. Multatuli konon pernah berkata,“Membuat kebenaran menjadi terasa membosankan adalah sebuah kejahatan”. Saya tak tahu apakah kesadaran semacam itu ada di benak para pastor dan pendeta yang kebagian tugas mengantarkan warta baik itu. Saya juga tak tahu apakah saya sudah menuntut kelewat banyak.

Tiba-tiba saya ingat masa kecil dulu, ketika Natal sungguh-sungguh adalah Hadiah -- dengan “H”. Sebagai siswa “sekolah Minggu” saya selalu menantikan Natal dengan penuh harap. Bukan karena kebajikan atau keindahan teologal yang ditawarkannya tentu saja, tapi karena sejumlah hadiah yang memang bakal saya terima dari para guru “sekolah Minggu” saya. Hadiahnya, sejauh yang bisa saya ingat, tidak pernah heboh. Paling-paling seperangkat alat tulis sekolah, atau beberapa buku cerita bergambar berisi cuplikan kisah dari Alkitab. Tapi hadiah-hadiah itu betul-betul mengesan kuat. Barangkali karena Tuhan saat itu, tanpa setahu saya, sudah sungguh-sungguh hadir – sebagai Hadiah -- dengan cara yang sangat spesial dan pribadi.

Pada titik ini saya teringat sebuah ayat Injil, kata-kata Yesus sendiri, “… barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya” (Markus 10:15). Di sinilah agaknya ayat itu menemukan konteks riilnya. Jadi, hanya kalau kita bisa menjadi “bocah” kembali, barulah kita akan bisa berkesempatan mengalami Natal sungguh-sungguh sebagai Hadiah – dengan “H” itu. Selamat Natal!
.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...