Pada Suatu Pagi
Karena jalan macet
pada pagi itu
kita jadi sempat
mengamati lebih jelas
wajah orang-orang
di pinggir jalan.
Bahkan rumputan liar
di luar halaman
bank swasta itu
mendadak jadi terasa
begitu berarti.
Ini pasti bukan
perasaan sentimentil
yang biasa.
Kita tidak perlu
tahu siapa saja mereka.
Mulut yang terkunci
pada wajah mereka
mengabarkan kepada kita
beberapa hal sederhana
dan sangat mendasar
yang begitu lama
kita lupakan.
Inilah puisi
yang tidak ditulis lagi
warta berita yang
disensor dari
mata batin kita
selama ini.
Karena jalan macet
pada pagi itu
sistem tidak berjalan
seperti biasa
kita pun menangkap
kembali denyut suara
manusia yang sunyi.
Impian-impian masih
yang dulu juga ternyata
berjejalan di bus
yang merayap sangat
pelan dan lambat
untuk tidak pernah
sampai kemana pun.
1991
Percakapan Di Salon
Sang nyonya bicara
Tentang anak lelakinya
Calon insinyur
Sekolah di Jerman
Lulus tahun depan
Mungkin bakal kawin
Dengan cewek sana
Sesudah itu
Tante di sebelahnya
Ngomong soal prospek
Toko kembangnya
Suaminya orang penting
Di bank swasta besar
Di Jakarta sini
Nunggu di mobil
Mengkilat keren
Di luar sana
Percakapan akan
Terus berlanjut
Di antara gunting
Sisir dan cermin
Tema beralih
Soal liburan ke pulau
Di teluk Jakarta
Disebut si nyonya
Meniru perilaku
Orang kaya Amerika
Konon begitu
Sebab week end di Puncak
Sudah kuno sekarang
Si tante setuju
Lantas dia omong lagi
Soal toko kembangnya
Rumah bagus
Antena parabola
Serta sepintas lalu
Disinggungnya juga
Menantunya yang dokter
Lulusan Belanda
Dan sekarang praktek
Di rumah sakit
Komplek Indah
Bersama gunting
Sisir dan cermin
Engkau hanya sanggup
Diam mendengarkan
Semua itu
Tak ada peluang
Menang melawan
Dokter dan insinyur
Dari Jerman itu
Tak punya uang
Tidak usah pergi
Berlibur ke pulau
Pulang saja
Tidur arau tulislah
Beberapa sajak
Seperti dulu
Kata-kata masih
Setia menemani
Tak perlu parabola
Hanya untuk merasa
Bahagia bukan?
1991
No comments:
Post a Comment