SEPERTI Arswendo Atmowiloto, sastrawan sohor Putu Wijaya juga melakoni ritual “menggondrongkan rambut” sebagai salah satu resep menjaga kelangsungan kerja menulisnya—hanya saja bentuknya berbeda. Putu Wijaya mengaku punya kebiasaan menanamkan perasaan “penasaran” ke dalam dirinya. Maksudnya, ia kerap menstimulir dirinya untuk membalikkan keadaan “kalah” yang menderanya menjadi sebaliknya.
Ia mencontohkan kelahiran novel Telegram. Putu bercerita saat itu ia diajak main film Kabut di Kintamani, tapi kemudian tidak tercapai kesepakatan honorarium. Lalu karena itu posisinya digantikan orang lain, tapi ia ia sendiri tidak dikasih tahu ihwal pencoretan namanya.Tahu-tahu ia ditinggalkan seluruh kru film itu, padahal ia sudah sempat ikut selametannya segala. Saya malu sekali, kenangnya dalam sebuah tulisan, saya ingin menebus malu itu dengan menghasilkan sesuatu. Dan ‘sesuatu’ itu ternyata Telegram, salah satu novel penting dalam khazanah sastra kita.
Ia pun senang “ngeluyur” untuk mendapatkan bahan-bahan baru dan segar dalam tulisannya. Ia pernah bergabung dengan komunitas Ittoen di Kyoto, Jepang, untuk keperluan itu. Tapi ada juga bentuk “ngeluyur” lain yang tidak kalah menariknya yang pernah ia lakukan. Suatu ketika, terinspirasi seorang pelukis, ia berhenti membaca buku dan hanya menulis. Sebagai ganti buku, ia pun lari ke musik. Ternyata menarik hasilnya. Katanya, kalau saya mendapatkan lagu yang bagus, saya seperti mendapatkan stamina untuk menulis terus.
Pelajaran menarik lain yang bisa dipetik dari sastrawan asal Bali ini—juga dari Arswendo Atmowiloto—adalah bahwa kemiskinan ternyata tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menulis. Arswendo dulu sering meminjam mesin tik kantor kelurahan yang pitanya sudah somplak untuk menulis, karena memang tidak punya mesin tik. Putu Wijaya pun mengaku sering nebeng mengetik di rumah seorang sobatnya.
Mungkin, dibanding “kemiskinan”, rutinitas dan kemapanan, yang biasanya berkorelasi dengan suasana nyaman yang melenakan, lebih berbahaya dan “membunuh” seorang penulis. Situasi “terdesak” atau “kepepet” justru biasanya menjadi pemicu lahirnya karya-karya besar. Bukankah Pramoedya Ananta Toer menuliskan Bumi Manusia sewaktu ia dibuang jauh di sebuah pulau terpencil, dan Chairil Anwar melahirkan puisi-puisinya pada masa hidupnya yang singkat, sakit-sakitan dan bokek pula?
Ia mencontohkan kelahiran novel Telegram. Putu bercerita saat itu ia diajak main film Kabut di Kintamani, tapi kemudian tidak tercapai kesepakatan honorarium. Lalu karena itu posisinya digantikan orang lain, tapi ia ia sendiri tidak dikasih tahu ihwal pencoretan namanya.Tahu-tahu ia ditinggalkan seluruh kru film itu, padahal ia sudah sempat ikut selametannya segala. Saya malu sekali, kenangnya dalam sebuah tulisan, saya ingin menebus malu itu dengan menghasilkan sesuatu. Dan ‘sesuatu’ itu ternyata Telegram, salah satu novel penting dalam khazanah sastra kita.
Ia pun senang “ngeluyur” untuk mendapatkan bahan-bahan baru dan segar dalam tulisannya. Ia pernah bergabung dengan komunitas Ittoen di Kyoto, Jepang, untuk keperluan itu. Tapi ada juga bentuk “ngeluyur” lain yang tidak kalah menariknya yang pernah ia lakukan. Suatu ketika, terinspirasi seorang pelukis, ia berhenti membaca buku dan hanya menulis. Sebagai ganti buku, ia pun lari ke musik. Ternyata menarik hasilnya. Katanya, kalau saya mendapatkan lagu yang bagus, saya seperti mendapatkan stamina untuk menulis terus.
Pelajaran menarik lain yang bisa dipetik dari sastrawan asal Bali ini—juga dari Arswendo Atmowiloto—adalah bahwa kemiskinan ternyata tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menulis. Arswendo dulu sering meminjam mesin tik kantor kelurahan yang pitanya sudah somplak untuk menulis, karena memang tidak punya mesin tik. Putu Wijaya pun mengaku sering nebeng mengetik di rumah seorang sobatnya.
Mungkin, dibanding “kemiskinan”, rutinitas dan kemapanan, yang biasanya berkorelasi dengan suasana nyaman yang melenakan, lebih berbahaya dan “membunuh” seorang penulis. Situasi “terdesak” atau “kepepet” justru biasanya menjadi pemicu lahirnya karya-karya besar. Bukankah Pramoedya Ananta Toer menuliskan Bumi Manusia sewaktu ia dibuang jauh di sebuah pulau terpencil, dan Chairil Anwar melahirkan puisi-puisinya pada masa hidupnya yang singkat, sakit-sakitan dan bokek pula?
No comments:
Post a Comment