SELAMA bertahun-tahun berkiprah dalam kerja puisi—meskipun akhirnya hanya tercatat sebagai figuran—saya mempunyai sebuah pertanyaan “kecil” yang belum saya temukan jawabannya. Pertanyaan itu juga sering saya ajukan kepada diri sendiri, dan hingga saat ini saya pun belum bisa menjawabnya dengan memuaskan. Pertanyaan itu adalah mengapa tema sosial dalam puisi kita terasa seperti “terpinggirkan”? Mengapa pula tema sosial sepertinya “kurang diminati” banyak penyair kita?
Khazanah puisi kita begitu kaya dengan ragam puisi bertema alam dan reliji, tapi kalau mencari puisi sosial rasanya dari dulu stok kita masih nama yang itu-itu juga : Rendra, lalu Taufiq Ismail, dan dari masa-masa agak kemudian boleh disebut nama-nama semisal Yudhistira ANM Masardi, F Rahardi, dan tentu saja Wiji Thukul. Mungkin masih ada lagi beberapa nama, tapi kalaupun dijumlahkan tetap kecil sekali dibandingkan dengan jumlah “koleksi” penyair alam dan reliji yang kita miliki.
Padahal lembaran sejarah sosial politik kita tidak pernah kekurangan bahan bermutu untuk bisa dijadikan puisi-puisi sosial unggulan. Saya ingat suatu kali pelukis Hardi bilang bahwa keterlibatan sosial sastrawan kita “kecil sekali”. Buktinya majalah sastra Horison tidak pernah dibredel, katanya berseloroh. Guyonan Hardi itu menarik dicermati. Kita, misalnya, bisa bertanya mengapa halaman-halaman majalah sastra Horison—yang dianggap sebagai barometer pencapaian sastra kita—nyatanya memang lebih dominan diisi, dalam istilah Hardi lagi, “sajak-sajak gundah gulana” ketimbang puisi-puisi sosial?
Jika alasannya karena soal mutu, maka pertanyaan susulannya adalah mengapa begitu sedikit stok puisi sosial bagus yang kita punya? Mengapa kita begitu piawai menulis puisi “gundah-gulana” dan sebaliknya terkesan tergagap-gagap ketika mengolah tema-tema sosial ke dalam puisi kita? Aih, jangan-jangan gurauan Hardi perihal “kecil”nya rasa keterlibatan sosial penyair kita, ternyata benar adanya.
Khazanah puisi kita begitu kaya dengan ragam puisi bertema alam dan reliji, tapi kalau mencari puisi sosial rasanya dari dulu stok kita masih nama yang itu-itu juga : Rendra, lalu Taufiq Ismail, dan dari masa-masa agak kemudian boleh disebut nama-nama semisal Yudhistira ANM Masardi, F Rahardi, dan tentu saja Wiji Thukul. Mungkin masih ada lagi beberapa nama, tapi kalaupun dijumlahkan tetap kecil sekali dibandingkan dengan jumlah “koleksi” penyair alam dan reliji yang kita miliki.
Padahal lembaran sejarah sosial politik kita tidak pernah kekurangan bahan bermutu untuk bisa dijadikan puisi-puisi sosial unggulan. Saya ingat suatu kali pelukis Hardi bilang bahwa keterlibatan sosial sastrawan kita “kecil sekali”. Buktinya majalah sastra Horison tidak pernah dibredel, katanya berseloroh. Guyonan Hardi itu menarik dicermati. Kita, misalnya, bisa bertanya mengapa halaman-halaman majalah sastra Horison—yang dianggap sebagai barometer pencapaian sastra kita—nyatanya memang lebih dominan diisi, dalam istilah Hardi lagi, “sajak-sajak gundah gulana” ketimbang puisi-puisi sosial?
Jika alasannya karena soal mutu, maka pertanyaan susulannya adalah mengapa begitu sedikit stok puisi sosial bagus yang kita punya? Mengapa kita begitu piawai menulis puisi “gundah-gulana” dan sebaliknya terkesan tergagap-gagap ketika mengolah tema-tema sosial ke dalam puisi kita? Aih, jangan-jangan gurauan Hardi perihal “kecil”nya rasa keterlibatan sosial penyair kita, ternyata benar adanya.
No comments:
Post a Comment