MEMASUKI bulan Mei, Blog Tempo Interaktif menurunkan sebuah tulisan mengenang kembali Tragedi Mei 1998 yang hingga kini tidak kunjung jelas penyelesaian kasusnya. Tulisan di blog itu pun secara khusus menyoroti mandegnya urusan ini. Dalam kolom komentar saya nimbrung menulis dengan mengatakan antara lain bahwa “tidak pernah ada ceritanya kejahatan yang dilakukan tentara di sini dibongkar ke permukaan”, dengan menunjuk contoh kasus lain, Sabtu Kelabu, 27 Juli 1996.
Kasus 27 Juli sangat menarik diangkat untuk dijadikan parameter keseriusan atau “keberanian” pemerintah mengusut kasus-kasus sejenis. Kalau dalam kasus 27 Juli saja Megawati yang sewaktu kejadian berada dalam posisi “si teraniaya” kemudian ternyata terbukti (tidak berani) bikin apa-apa sewaktu ia berbalik berada dalam posisi sebagai “RI 1”, dengan gampang kita pun bisa menghitung peluang kasus lainnya.
Tragedi Mei 1998 yang begitu sarat muatan politis, melibatkan konon sejumlah nama besar dan penting di panggung politik negeri ini dalam sebuah konspirasi kotor, agaknya hanya akan dibiarkan teronggok basi dalam gudang pula. Harapannya pelan-pelan orang akan bosan dan kemudian melupakannya.
Lagi pula tragedi gila ini buat sebagian mengambil korbannya dari kelompok minoritas Cina, sebuah “kasta” yang memang sengaja dipelihara untuk sewaktu-waktu dijadikan semacam “kayu bakar” guna memuaskan kemarahan sosial yang—agaknya juga sengaja dibuat--mendidih di lapis bawah. Setidaknya itulah yang saya lihat dipraktikkan di masa Orde Baru dulu. Tapi, apa betul nasib “kasta” ini sudah berubah kini?
Jadi, kembali ke laptop, kita tak usahlah kelewat berharap akan ada “kemajuan” dalam penanganan kasus ini. Entah ya kalau misalnya Gus Dur yang jadi presiden kita.
Kasus 27 Juli sangat menarik diangkat untuk dijadikan parameter keseriusan atau “keberanian” pemerintah mengusut kasus-kasus sejenis. Kalau dalam kasus 27 Juli saja Megawati yang sewaktu kejadian berada dalam posisi “si teraniaya” kemudian ternyata terbukti (tidak berani) bikin apa-apa sewaktu ia berbalik berada dalam posisi sebagai “RI 1”, dengan gampang kita pun bisa menghitung peluang kasus lainnya.
Tragedi Mei 1998 yang begitu sarat muatan politis, melibatkan konon sejumlah nama besar dan penting di panggung politik negeri ini dalam sebuah konspirasi kotor, agaknya hanya akan dibiarkan teronggok basi dalam gudang pula. Harapannya pelan-pelan orang akan bosan dan kemudian melupakannya.
Lagi pula tragedi gila ini buat sebagian mengambil korbannya dari kelompok minoritas Cina, sebuah “kasta” yang memang sengaja dipelihara untuk sewaktu-waktu dijadikan semacam “kayu bakar” guna memuaskan kemarahan sosial yang—agaknya juga sengaja dibuat--mendidih di lapis bawah. Setidaknya itulah yang saya lihat dipraktikkan di masa Orde Baru dulu. Tapi, apa betul nasib “kasta” ini sudah berubah kini?
Jadi, kembali ke laptop, kita tak usahlah kelewat berharap akan ada “kemajuan” dalam penanganan kasus ini. Entah ya kalau misalnya Gus Dur yang jadi presiden kita.
2 comments:
tapi abdurrahman wahid kan sudah pernah jadi presiden? nggak ada kemajuan juga tuh waktu itu..
*temannya udin.
Lho, Gus Dur kan keburu dijegal di tengah jalan. Coba kalau beliau bisa terus ... Salam
Post a Comment