https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

28 March 2008

Musim Kawin Puisi

BISAKAH puisi dipanggil? Bisa. Saya sering mencoba melakukannya. Bagaimana caranya? Memang tak selalu mudah, dan tak selalu berhasil.Tapi cobalah bereksperimen—ini bukan tipuan aneh, dan rasanya juga bukan temuan baru. Pilihlah sebuah atau beberapa buah buku puisi—sebaiknya sebuah saja, yang sungguh anda yakini bisa membikin anda “kepayang” saat itu. Sesudah itu carilah tempat dan suasana yang sip buat mengencaninya.

Lakukanlah pendekatan yang baik. Jangan langsung nyosor. Yang elegan, yang sopan. Jelajahilah halaman demi halamannya, dengan sepenuh gairah. Ikuti saja apa maunya. Jangan memaksanya mengatakan yang lain. Dengarlah segala keluh-kesahnya. Pelajari bagaimana ia berkisah, mendesah, merespons rabaan anda pada sekujur barisnya. Amati cara-caranya berkelok, melenggang sebelum berpindah baris dan melompati bait, dan seterusnya, dan begitu selanjutnya.

Lakukanlah itu sampai anda betul-betul merasa “hanyut” dan terserap ke dalam semesta yang dihadirkannya—sampai anda bisa menemukan “roh” puisi-puisi itu. Sesudah itu selesai, selanjutnya adalah saat penantian. Mula-mula sayup, samar, kemudian akan semakin terang benderang, kata demi kata akan mendatangi anda, lalu menyusunkan untuk anda puisi-puisi baru, yang tak pernah anda bayangkan sebelumnya. Anda akan menjadi sangat sensitif pada periode ini, dan puisi jadi begitu “mudah” ditulis.

Kasarnya anda tinggal menadahkan kertas, guna menampung curahan kata-kata itu. Tapi di sinilah justru ujiannya : seberapa siapkah anda menggarap “ilham” yang sudah susah payah mendatangi anda itu. Berapa lama “orgasme puitik” ini akan berlangsung juga sangat relatif. Bisa singkat saja, dan hanya melahirkan satu dua sajak, tapi bisa juga berlangsung lumayan lama. Mungkin saja selama berbulan-bulan seorang penyair berada dalam kondisi “hanyut” seperti itu. Berahi puitik ini lantas mengendor, ditandai dengan menurunnya intensitas dan kualitas sajak-sajak yang dilahirkan, sebelum akhirnya padam.

Sesudah lewat “musim kawin” itu seorang penyair akan “kembali“ ke dunia nyata sehari-harinya, menjadi anomim, “bodoh dan menyerah”, persis serupa orang-orang lain di sekitarnya. Sampai tiba “musim kawin” berikutnya.

2 comments:

Seorang Sendja said...

benar sekali itu,
kebetulan musim kawin sedang hangat2nya di neuron otak saya hehe

Ook Nugroho said...

kalo begitu buruan dah bikin "anak" banyak2, "anak-anak senja", haha

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...