https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

06 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (3)

Proses

Pada mulanya adalah citra. Mungkin bahkan hanya separuh, atau seperempat citra saja. Tugas penyairlah mengutuhkan citra itu, melengkapkannya. Lalu memberinya bentuk. Membuatnya terlihat oleh pembaca--orang lain selain dirinya. Menyumbangkan sehembus “nyawa” di bumi.

Mungkin itulah bukti bahwa menyair bukanlah kerja di awang-awang. Dan seorang penyair dengan begitu juga bukanlah sejenis hantu jadi-jadian. Ia berdaging, berada di tengah sejarah. Berkelindan dengan segenap unsur yang tak kunjung henti membetot-betotnya-- memprosesnya
.

Dalam puisi-puisi mutakhir anda, kelihatan anda begitu leluasa memanfaatkan berbagai ragam bentuk pengucapan. Masalah bentuk sepertinya sudah “selesai” bagi anda?

Jika anda menggunakan istilah “bentuk”, maka buat saya bentuk bukanlah wadah—atau bukan sekadar wadah—bagi isi (misalnya seperti ember, yang menjadi wadah bagi air yang ditampungnya). Bentuk, buat saya adalah buah dari aspirasi si penyair sendiri. Saya tidak mengejar-ngejar bentuk, namun apa yang dinamakan bentuk itu seperti datang sendiri menyambut cara saya, jalan saya, dalam “menangani” citra, motif, kata, frase, kalimat. Saya “mendengar” bentuk itu, dan hanya membuatnya terlihat bagi pembaca. Kenapa “Putri Malu” berbentuk (seperti) gurindam, “Di Restoran Turki” sonet, “Cumi-cumi” puisi bebas, “Burung Merak” puisi-prosa (prose-poem), dan seterusnya—niscayalah semua itu disebabkan semacam derap, ketukan, atau irama yang beriringan dengan larinya citraan yang mengejar saya atau saya kejar. Namun ada juga cara lain. Bila ada citra atau sederet citra yang terus mengambang di depan saya namun tak kunjung tertangkap, maka saya menyiapkan setengah-desain atau setengah-struktur untuk memerangkapnya. Bila pemerangkapan berhasil, maka citra itu akan berkembang-biak seturut kebutuhannya sendiri, sementara desain itu, struktur itu, juga akan tumbuh sampai menjadi cukup-diri.

Saya selalu curiga kepada kreasi. Sehingga, tahap berikutnya menjadi lebih berat dan seringkali lebih lama: ketika saya benar-benar harus mengerjakan puisi itu, melakukan penyuntingan. Ini adalah tahap memeriksa detil, menambah-kurangi, membongkar-pasang. Saya bisa sekadar memperkuat atau bahkan merombak sama sekali bangunan (desain, struktur, bentuk) yang sudah wujud sebelumnya. Dalam puisi, detil akan tampak cemerlang bila strukturnya kokoh; dan bangunan, struktur, bentuk itu akan cemerlang pula bila jalinan antar-detilnya saling mengunci. Seberapa jauh anda harus menyediakan sunyi dan bunyi, keselarasan dan ketidakselarasan, terang dan bayangan—ini adalah hasil seluruh daya anda bermain dan bertarung dengan gramatika, kekayaan kosakata, semantika dalam bahasa terpakai, juga dengan khazanah perpuisian yang seluas mungkin. Prinsip saya jelas: ambiguitas dan kompleksitas hanya dimungkinkan oleh komposisi yang kuat; tanpa komposisi, hanya ada kegelapan dan keruwetan.

Tentang keleluasaan “memanfaatkan berbagai ragam bentuk pengucapan,” saya ingin mengatakan bahwa setiap penyair sesungguhnya hidup di atas semua tradisi perpuisian yang ada sebelum dia; ya, semua, karena berbagai tradisi itu saling berkelindan hingga mencakup seluruh buana, terlepas dari apakah si penyair peduli atau tidak. Baik yang menganggap diri pembaharu ataupun pengusung tradisi pada dasarnya hanya berlaku ironis belaka tanpa mereka sadari. Masalahnya, keduanya tidak tahu seberapa luas dunia puisi atau puisi dunia karena mereka terpenjara oleh bahasa(-bahasa) yang mereka kuasai. Saya ingin menyuratkan, mengeksplisitkan, ironi itu: anda tidak bisa menjadi baharu, tanpa kemampuan bergerak ke depan (masa depan) dan ke belakang (masa lampau), ke atas (seni luhur) dan ke bawah (seni handap, serta budaya massa). Artinya, anda bisa menulis gurindam atau pantun, tapi anda bisa jauh lebih segar daripada mereka yang membuat puisi bebas, atau mereka yang sibuk memperkarakan lirisisme, misalnya. Atau, jika anda menulis puisi bebas atau puisi-prosa, dengan citra-citra urban misalnya, belum tentu anda menjadi ultramodernis atau pascamodernis; sebaliknya, anda bisa terlihat sangat terkebelakang. Sementara itu, jika anda bersikeras menggali akar tradisi, maka anda bisa sekadar terjerumus ke dalam fundamentalisme dan orientalisme, yang membuahkan bukan puisi, tapi klise dan “politik sastra” belaka. Anda tidak bisa kembali ke akar, tetapi harus menciptakannya. Ya, menciptakan bukan hanya satu akar, tapi aneka akar. Berikut ini contoh, mudah-mudahan tidak memalukan. Setelah membaca sejumlah sajak saya seperti “Putri Malu” dan “Madah Merah”, misalnya, ada penyair Sumatra berkata kepada saya, “Wah, dikau lebih Sumatra daripada aku”; atau, “Aku cemburu, seharusnya akulah yang menulis sajak-sajak seperti itu.” Namun boleh juga kita berandai-andai. Jika saja ada yang berkeberatan dengan kemelayuan atau kesumatraan sajak-sajak saya yang berpola pantun atau gurindam, niscayalah mereka bukan sedang menilai sajak-sajak itu, namun menghubung-hubungkannya dengan riwayat hidup si penyair, yang berdarah Jawa-Using. Jadi, saya harap anda membunuh si penyair dan menatap puisinya belaka.

Ada satu-dua hal lagi yang harus saya sampaikan sehubungan dengan pertanyaan anda. Sebagian besar penyair kita merasa membubuhkan cap jari dengan bertahan pada gaya atau bentuk pengucapan tertentu, bahkan pada kosakata tertentu. Mereka mereproduksikan diri terus-menerus. Amatlah aneh jika penyair berlaku seperti mesin, meskipun mesin yang bersifat romantik, ya, kurang-lebih mesin keharuan! Baru-baru ini ada diskusi tentang lirisisme di Jakarta. Dicemaskan bahwa lirisisme berkuasa, bahkan menjadi semacam imperium. Hiperbol yang dilemparkan penggagas diskusi itu tidak tepat. Yang mereka persoalkan mestinya, kenapa lirisisme dalam perpuisian Indonesia kurus-kering, terkerangkeng pada dua-tiga model belaka. Atau, mereka seharusnya bertanya lebih “radikal” lagi, kenapa di zaman yang sungguh prosais ini kita masih menulis puisi. (Saya ingat Adorno, “Menulis puisi setelah Auschwitz itu barbar.”)

Kelihatannya anda juga berhasil keluar dari “kepungan” imaji-imaji alam yang begitu lama menjadi klise dan “menguasai” jagat puisi kita.

Saya sudah menjawab sebagian pertanyaan ini di atas. (Dan seharusnya anda lebih tegas lagi dalam menilai sajak-sajak saya!) Baiklah saya teruskan. Soalnya bukanlah imaji-imaji alam—atau bahkan alam—itu sendiri. Saya ingin mengajukan analogi di sini. Seorang fisikawan dan biologiwan itu juga berurusan dengan alam, unsur-unsur alam, tapi beda mereka dengan penikmat pemandangan, turis, atau puak penghuni hutan, misalnya, adalah bahwa mereka mengambil jarak tertentu dengan alam dan mengajukan pertanyaan kritis terhadapnya. Demikian juga dalam dunia puisi. Yang jadi soal bukanlah imaji-imaji alam atau alam itu sendiri, tapi sikap kita terhadapnya. Kalau kita menggunakan citra-citra alam, belum tentu kita menjadi penyair romantik. Sebaliknya, dengan mengusung citra urban, kita bisa telak menjadi penyair romantik (miriplah kurang-lebih dengan perilaku kedusun-dusunan yang kian menjadi-jadi di ranah metropolitan). Saya pernah mengatakan bahwa para penyair kita asyik berburu lambang-lambang, seakan mereka mengamalkan kreativitas yang paling mustahil. Padahal yang terjadi sesungguhnya, lelambang yang mereka buru itu terbatas adanya, hanya kosakata tertentu yang sudah menjadi rumus dan klise dalam perpuisian Indonesia, pun hanya dalam dua-tiga model yang itu-itu juga, barangkali hanya dengan sedikit variasi. Jadi, para penyair harus berhenti memanjakan keharuan dan berburu lambang sekenanya, lalu mengajukan pertanyaan kritis terhadap kosakata dan kosacitra yang telanjur tersedia, dan mengambil jarak yang masuk akal terhadap perpuisian nasional. Pada saat yang sama, mereka harus menyadari bahwa baru sebagian kecil belaka potensi bahasa Indonesia yang tergali. Mereka harus membuktikan bahwa puisi bukan topeng bagi cacat berbahasa. (Bersambung)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...