https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

03 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (1)

Kelahiran Kembali

Nirwan Dewanto boleh jadi kadung dikenal (atau diakui) lebih sebagai esais. Namun sesungguhnya ia juga seorang penyair yang tangguh. Sajak-sajaknya yang penuh pukau dan tenaga sudah membanjiri lembar puisi koran-koran penting di sini sejak awal 1980-an. Anehnya, meski memiliki modal segebung puisi kuat ia tak kunjung membukukan sajak-sajaknya. Baru pada tahun inilah kumpulan puisi pertamanya, yang ia beri judul Jantung Lebah Ratu, bakal terbit.

Dalam kaitan dengan kehadiran Jantung Lebah Ratu itulah wawancara ini dirancang. Kepadanya juga diajukan sejumlah pertanyaan ihwal beberapa topik aktual dalam kehidupan puisi kita hari ini. Karena “obrolan” kami yang dilakukan secara tertulis lewat surat elektronik ini cukup panjang, maka “wawancara” ini akan disajikan secara bersambung dalam beberapa kali pemuatan. Berikut ini adalah penggalan pertamanya. Selamat membaca!

Kumpulan puisi pertama anda akhirnya bakal terbit, tapi mengapa baru sekarang? Mengapa begitu lama? Apa yang membuat seorang Nirwan Dewanto bisa begitu bersabar menunggu selama itu?

Sesungguhnya saya tidaklah pernah merasa “bersabar menunggu selama itu”. Bahkan saya merasa tidak menunggu sama sekali. Barangkali karena saya tidak pernah bertegang-tegang dengan dunia sastra, misalnya saja mencari posisi atau pengaruh. Menulis buat saya adalah semacam laku mendisiplinkan diri. Jika saya menulis, saya sering merasa karya saya adalah karya dalam proses, seakan proyek seumur hidup. Tapi ini tidak realistis, bukan? Banyak tulisan saya yang tersimpan dalam laci. Kadang-kadang saja saya menengoknya dan berpikir bahwa beberapa di antaranya layak terbit. Namun, saya juga terlalu kritis terhadap diri sendiri. Seringkali laku kritik-diri ini bersifat patologis. Saya senang mencoret-coret dan membuang karya sendiri. Meski saya tak putus-putusnya menulis, akhirnya jumlah karya saya tidak banyak juga. Sebagian besar sudah lenyap. Dan sudah saya lupakan pula. (Sebagian lagi digambari oleh dua keponakan saya sehingga teks-nya tak terbaca lagi.) Berlaku sebagai kritikus terhadap karya sendiri ini ada sisi “positif”-nya juga: saya bisa merasa lahir kembali pada tahap-tahap tertentu. Namun pada gilirannya, jika anda merasa terlalu sering merasa diri lahir kembali, anda tidak berpikir tentang produktivitas, tentang himpunan karya yang bisa diukur panjang-pendeknya, tentang buku, tentang daftar karya sendiri.

Nah, tiba-tiba kita merasa waktu berjalan cepat sekali. Dan anda mulai berpikir bahwa waktu anda terbatas. Begitu pula saya. Paling tidak, untuk setiap masa “kelahiran kembali”, kita harus terdorong menghasilkan satu buku. Anda harus bersikap kritis terhadap karya sendiri memang, tapi anda harus memberi kesempatan kepada karya anda untuk menjumpai pembaca dan penilainya sendiri. Ya, sekaranglah saatnya. Dan jangan berpura-pura bahwa anda bisa lahir lagi nanti.

Kumpulan ini, kalau boleh dapat bocoran, mencakup puisi dari periode puisi anda yang mana saja? Dan kapan persisnya bakal keluar?

Tak ada yang harus dirahasiakan, Bung. Buku saya memuat 46 judul puisi yang saya buat sepanjang 2005-2007, hampir setengah di antaranya belum pernah termuat di mana pun. Buku itu diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, dan akan beredar, kalau tak ada halangan yang berarti, pada 22 April 2008. Oh ya, judulnya Jantung Lebah Ratu. Ini judul terbaik yang bisa saya kenakan untuk buku puisi saya. (Jadi bukan Perenang Buta, Bung, seperti yang pernah sempat tersiar.) Saya merasa alangkah baiknya kalau judul buku bukan judul salah satu puisi. Buat saya, judul final yang “enak bunyinya” ini akan menggoda pembaca.

Lama sebelum ini anda pernah merencanakan terbitnya kumpulan puisi “Buku Cacing”. Bagaimana nasib kumpulan itu?

Setiap kali ada yang bertanya tentang “Buku Cacing”, saya terhenyak, oh, tak sedikit yang mengingat manuskrip itu. Bahkan ada sejumlah kolega, pembaca dan penyair (termasuk yang jauh lebih muda ketimbang saya), menanyakan kumpulan itu. Saya heran, bagaimana mereka tahu dan masih mengingat “Buku Cacing”. Mungkin karena mereka membaca Tonggak (suntingan Linus Suryadi AG) jilid keempat. Mungkin sebagian yang lain adalah “kawan-kawan” yang mengamat-amati saya sejak pembacaan puisi saya dalam “Tiga Penyair Bandung” yang ditaja Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta di Teater Arena TIM pada 19 Juni 1987, di mana saya membacakan sebagian dari “Buku Cacing”.

“Buku Cacing” adalah hasil pergaulan saya dengan perpuisian Indonesia—mungkin lebih tepat dikatakan kepenyairan Indonesia—sepanjang kurang lebih 1983-1986, khususnya kalangan penyair di Bandung dan, lebih khusus lagi, lingkungan Grup Apresiasi Sastra ITB (tempat kuliah saya). Dengan menulis sajak-sajak itu, pada waktu itu saya begitu yakin bahwa saya mampu memasuki dunia puisi Indonesia. Dan ini sungguh-sungguh terjadi. Sajak-sajak saya dimuat sejumlah lembar sastra bergengsi, dan kaum penyair menganggap saya sebagai kaum mereka. Namun, selepas 1987, ketika saya membaca-baca lagi “Buku Cacing”, ketika saya nyaris menerbitkannya, saya sudah mampu bersikap keras terhadap diri sendiri. Saya ingin membunuh si penyair yang hidup dalam diri saya. Lantas begitu saja padamlah hasrat saya menerbitkan “Buku Cacing”.

“Buku Cacing” adalah masa lalu saya, yang hendak saya tolak, namun ternyata selalu hadir kembali. Bahwa tak sedikit orang yang masih berminat dengan sejumlah sajak yang termaktub di dalamnya, itu mungkin menyatakan bahwa “Buku Cacing” ada juga nilainya. Jika akhir-akhir ini saya menengoknya lagi, saya mencoba belajar menghargainya kembali, seperti melihat masa muda saya, yang tentulah mengandung sendu dan marah tesendiri. Jika nanti saya membuat himpunan sajak lengkap atau himpunan sajak terpilih, saya pasti akan menyertakan sejumlah sajak—tentu setelah melakukan sedikit revisi atasnya—dari manuskrip itu. (Bersambung)

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...