https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

10 April 2008

Wawancara dengan Nirwan Dewanto (5 Habis)

Sastra yang Normal

Ini adalah bagian pamungkas dari “obrolan” panjang dengan Nirwan Dewanto. Saya pribadi merasa mendapat banyak pelajaran berharga dari percakapan tertulis ini—dan saya harap anda sekalian pun demikian. Kepada rekan Nirwan Dewanto yang sudah bersedia meluangkan waktunya meladeni tawaran wawancara ini saya ucapkan terima kasih banyak.

Catatan akhir, Nirwan Dewanto juga mengemukakan niatnya untuk ngeblog—mudah-mudahan terlaksana dalam waktu dekat ini, katanya. Semogalah sungguh demikian. Jagat blog kita niscaya akan semakin meriah dengan kehadirannya
.

Pada banyak kesempatan anda kerap megingatkan perlunya kita berguru pada khazanah sastra dunia. Begitu burukkah pencapaian sastra kita? Dan menurut anda bagaimana kondisi perpuisian kita saat ini?

Sastra dunia bukanlah kumpulan karya sastra dari seluruh dunia, apalagi karya sastra dari luar negeri. Jika itu yang dinamakan sastra dunia, sudah pasti kita tak mampu mengenalnya, apalagi memanfaatkannya. Sastra dunia itu sebuah perspektif, yang bisa menerangi masalah kesastraan kita sendiri. Seperti halnya kita tak bisa melihat ekonomi nasional tanpa perspektif global. Buat saya, sastra dunia punya arti praktis. Pertama, kita, setiap penulis, memperhubungkan sejumlah karya yang melintasi batas kampung-kampung dan negeri-negeri, sesuai dengan kebutuhan sendiri, untuk memelihara sumber-sumber kreativitas. Kita memilih model-model yang paling masuk akal bagi mekarnya kreativitas kita sendiri. (Saya ingatkan sekali lagi, sastra dunia ini juga melingkupi sastra-sastra dari kampung sendiri atau kampung tetangga, tapi yang sudah dilihat lagi dengan perspektif baru, perspektif global.) Kedua, dunia itu mengikis megalomania kita; artinya, jika kita berkarya, kita berpotensi sekadar menambahkan setitik debu polusi ke lautan karya cemerlang yang sudah dibuat manusia sepanjang sejarah. Jadi, perspektif dunia itu memberi kita kemampuan kritik-diri, sehingga kita tidak gampang terperangkap ke dalam model-model yang tidak hidup. Ketiga, kita menegakkan profesi di dunia modern. Semua profesi di dunia ini, sejak ilmuwan hingga juru masak, mengukur dan mengembangkan diri dengan standar disiplin transnasional. Kenapa kaum sastrawan harus mengistimewakan diri dengan ukuran yang ditetapkan di negerinya sendiri, sementara mereka sudah pula mengarungi internet? Keempat, bahasa, kesenian dan sastra-sastra kita mencapai bentuk terbaiknya ketika membuka diri terhadap arus-arus dunia, sebagaimana sudah terbukti dalam sejarah. Kenapa kita sekarang melihat sastra dunia sebagai ancaman terhadap sastra nasional?

Jadi, saya tidak mengatakan bahwa kita “perlu berguru kepada sastra dunia”. Sastra dunia itu sudah berada dalam diri kita. Mengingkarinya hanya akan mempertebal kemikiskinan dan keremajaan kita sendiri. Maaf, saya tidak menjawab dua pertanyaan anda yang lain. Atau sudah saya jawab dalam kesempatan sebelumnya. Sesungguhnya saya lelah berkomentar terhadap situasi kesastraan kita. Saya harus membuat pernyataan dalam bentuk lain. Pernyataan yang paling kongkret. Yaitu, Jantung Lebah Ratu

Ajang award sastra dengan hadiah besar, apakah efektif untuk memancing munculnya karya-karya besar?

Hadiah sastra (yang saya sempitkan di sini sebagai penghargaan untuk buku atau karya yang sudah terbit, bukan sayembara penulisan) sangat penting untuk menghargai dan menegakkan profesi sastra dan memeliharanya sebagai sumber kreativitas sosial. Di negeri-negeri yang normal kehidupan sastranya (sebutlah wilayah Asia saja—Korea Selatan, Cina Daratan, Jepang, India, misalnya), begitu banyak hadiah sastra yang bersungguh-sungguh, yang dijalankan oleh juri yang serius menilai. Menilai itu, bagi juri, tidak lain ketimbang mencari putusan terbaik, berkumpul, bertengkar, mempertanggung-jawabkan pilihan dan argumen masing-masing. Lalu, masing-masing penghadiahan itu juga bersaing satu sama lain, berebut tempat mana yang paling bergengsi dan berpengaruh. Sayang di negeri kita hal itu belum ada; yang ada hanyalah penghadiahan yang berpretensi “populis” atau “demokratis”; yang kita lihat hanyalah penjurian yang seperti tebak lotere, karena yang telanjur bernama juri itu tidak berkumpul, atau berkumpul sekadarnya, dan tidak beradu argumen. Hasilnya, yang menang bisa apa saja dan siapa saja. Jadi, tolonglah, jangan gunakan hiperbol seperti “karya-karya besar”. Kita
hanya perlu menegakkan kehidupan sastra yang normal-normal saja, yang sehat. Penghadiahan yang sudah ada perlu diperbaiki penjuriannya, namun lebih perlu lagi pengadaan aneka penghadiahan lain yang lebih rasional, lebih profesional. Anda jangan lupa, penghadiahan bagi kekaryaan profesi ini terjadi dalam bidang manapun di dunia modern ini—keilmuan, kesenian, keteknikan, dan seterusnya.

Terakhir, tidak tertarik bikin blog?

Saya perlu menyiarkan pendapat saya yang lebih spontan, yang sangat terikat kepada situasi, seperti wawancara ini misalnya. Saya juga perlu menuliskan penggalan riwayat saya, misalnya masa kanak saya, tamasya saya, aneka peristiwa kecil yang menggugah saya. Mungkin juga saya perlu menyiarkan sebagian karya yang tengah saya garap, work in progress, yang memerlukan semacam umpan balik dari lingkaran pembaca ideal saya. Semua itu tidaklah mungkin dimuat di media massa atau jurnal sastra manapun. Singkatnya, saya perlu membuat blog atau website sendiri. Mudah-mudahan terlaksana dalam waktu dekat. Terakhir, Bung: rangkaian jawaban saya terhadap sejumlah pertanyaan anda sekarang barulah sebagian kecil dari apa yang bisa saya utarakan tentang puisi saya dan perpuisian pada umumnya. Tentu saya kepingin menuliskan apa-apa yang belum terkatakan itu, selangkah demi selangkah. Ah, jangan-jangan kalau saya bicara lebih banyak, orang akan membaca puisi saya melalui pernyataan saya atau biografi saya. Semoga tidak. Bagaimanapun, saya ucapkan terima kasih banyak atas “interogasi” Bung.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...