: SDD
/1/
Lelah berjalan jauh
menyambangi kota-kota dan
benua bising ia putuskan akhirnya
tinggal menetap di pojok
sebuah metropolis yang masih
ada menyisakan sunyi untuk
seorang orang tua yang menganggur
seperti dirinya. Ia mengajak juga
bergabung ke rumahnya dekat senja itu
kerabat angin, kabut, pun gerimis
dan hujan. Mereka dikenalnya
dulu dalam kembaranya panjang
dan senyap ke alamat-alamat
rimba-raya aksara.
Inilah gaya hidup yang
sedari muda sudah diimpi-impikannya
sepenuh hasrat.
/2/
Tetangga-tetangga dekatnya
sering mendengar ia bercakap-cakap
dan bernyanyi-nyanyi dengan sepi
sampai jauh larut malam bahkan
kadang mendekat pada pagi.
Sahabat-sahabatnya angin dan rinai
gerimis membikin malam jadi semakin
ngelangut. Sesekali hujan turun
dengan dahsyatnya menimpali
perhelatan kudus itu dengan
bunyi-bunyian purba yang segera
saja mengingatkannya kembali pada
kidung putih yang kerap didengarnya
di masa-masa kanaknya dulu.
/3/
Pernah juga, tapi tak sering,
kedengaran ia bertengkar sengit
dengan sepi. Mungkin karena sesama
sepi ternyata juga banyak maunya
dan agak susah diaturnya,
atau semacam itulah.
Dan biasanya sehabis
pecah pertengkaran seperti itu
rumahnya yang memang
sudah sunyi jadi terlebih sepi
pula, jadi seperti tambah menjorok
menjauh ke lubuk kelam.
Tetangga-tetangganya yang
curiga pernah sangaja berindap-indap
mencoba mendekat kepingin
sekadar memastikan, mengetuk
dan menyeru-nyeru : “Tuan, tuan”,
panggil mereka separuh cemas, “Tuan
masih ada, bukan?” dan dari dalam
rumah itu lantas saja terdengar
sahutan (jengkel sepertinya sebab
terusik) : “Sebentar, saya sedang keluar!”
/4/
Semenjak insiden itu
tetangga-tetangganya tak pernah
berani dan mau mengusiknya pula.
Mereka paham dan kini percaya
bahwa ia memang sudah tak
ada lagi. Ia telah terbebas merdeka
dari samsara kata. Telah purna aksara.
Ah, ia telah mencapai puisi. Moksa.
No comments:
Post a Comment