Meskipun tak pernah merayakannya (saya terlahir dari keluarga Nasrani), Lebaran bagi saya selalu punya arti khusus, atau lebih tepatnya, punya kenangan khusus. Kenangan khusus jauh ke masa-masa bocah dulu.
Lebaran, tentu saja didahului ramadhan, dan pada zaman saya masih di sekolah dasar dulu, ramadhan itu identik dengan libur panjang sekolah. Liburannya betul-betul panjang, karena bisa lebih dari sebulan. Sebagai bocah normal, tentu saja saya menyambut libur panjang itu dengan girang. Tapi apa saja yang saya lakukan selama libur panjang itu? Jangan membayangkan saya mengisinya dengan semacam piknik keluarga ke luar kota umpamanya. Tidak. Itu sebuah kemewahan yang bahkan tak terpikirkan saat itu, mengingat kondisi keuangan keluarga yang "ngos-ngosan". Jadi yang saya pilih adalah kegiatan murah-meriah saja : bermain sepuas-puasnya dengan anak-anak "gang" (baca : geng) saya. Dan yang saya maksud dengan anak-anak "gang saya" itu adalah para anak tukang kebun, tukang sapu, dan tukang sampah. Lho?
Begini. Ceritanya dulu itu saya tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sebagian besar penghuninya adalah keluarga-keluarga yang lumayan mapan. Ada juga beberapa keluarga tentara di sana. Sisanya adalah keluarga-keluarga yang, sebut saja, agak susah hidupnya. Keluarga saya masuk dalam kelompok kedua ini. Tapi di bawah kami masih ada sebuah "kasta" lagi yang dianggap masih lebih payah lagi keadaannya. Merekalah para tukang kebun, tukang sapu dan tukang sampah di kompleks perumahan itu. Mereka juga tinggal di kompleks, tapi di "bawah", di pinggir kali yang melintas di belakang kompleks. Mereka mendiami rumah-rumah semi permanen yang dibangun seadanya. Sekarang kita menyebutnya bedeng.
Entah siapa yang memulainya, pembagian "kasta" itu ternyata berlaku juga di kalangan kami, para bocah penghuni kompleks. Ada dua "kasta". Yang pertama disebut atau menyebut diri "anak atas". Kelompok satunya disebut "anak bawah". Anak atas tentu saja anak-anak dari keluarga mapan, dan anak dari keluarga tentara, sedang anak bawah adalah anak dari para tukang sapu dan tukang sampah itu. Anak-anak atas emoh bergaul dengan anak-anak bawah yang sering mereka kata-katai "kotor", "bau", "bego", dan macam-macam lagi. Anak-anak bawah pasrah saja diperlakukan begitu oleh anak-anak atas, yang sering mereka sebut juga "anak-anak gedongan".
Lha, saya sendiri masuk kasta yang mana? Sudah saya ceritakan bahwa keluarga saya adalah anggota dari kasta kedua di kompleks itu. Lalu, kebetulan lokasi rumah saya berdekatan dengan lokasi di mana anak-anak bawah itu tinggal. Mungkin karena faktor kedekatan geografis inilah saya kemudian menjadi lebih dekat dengan kelompok yang dianggap underdog itu. Saya bisa begitu leluasa masuk dan keluar rumah mereka, bahkan kamar tidur mereka pun beberapa pernah saya masuki. Saya pun jadi tahu bahwa mereka ternyata sering mandi tanpa sabun. Hanya gebyar-gebyur air doang. Saya pun tahu menu makan siang mereka, karena suka menemani mereka makan siang sebelum mereka berangkat ke sekolah. Komposisinya biasanya tetap : nasih putih, sayur bening, lalu sambal (yang kayaknya selalu ada). Kadang ada juga potongan tempe goreng dan ikan asinnya. Sementara itu, untuk masuk ke dalam kelompok "anak-anak atas", saya merasa mengalami kesulitan. Lagi pula teman-teman yang "anak-anak gedongan" itu tampaknya tidak begitu rela kalau saya yang "culun" dan sering bergaul dengan anak tukang sampah ikut bergabung dengan mereka.
Tapi, lantas apa hubungannya semua ceritamu itu dengan Lebaran? Lha itu, saya sebetulnya cuma mau cerita bahwa masa-masa liburan ramadhan saya dulu itu saya isi bersama anak-anak dari "bawah" itu, tapi kan saya tidak bisa cerita langsung begitu saja. Maksud saya, settingnya harus disusun dulu. Dan itu adalah salah satu episode hidup saya yang saya anggap indah. Saya bersyukur pernah mengalaminya. Dari merekalah misalnya, saya belajar tahu bahwa kalau sudah bulan puasa, "setan-setan pada ditangkapi, supaya tak mengganggu orang yang puasa". Itulah sebabnya dulu, kalau lagi bulan puasa saya tak takut keluyuran malam sendirian, karena percaya tak bakal ada setan atau kuntillanak yang bakal mengganggu saya.
Dan pada suatu hari Lebaran, saya sudah lupa bagaimana awalnya, saya ikut bergabung dalam rombongan mereka, para anak tukang sapu itu, berkeliling dari rumah ke rumah menadah "angpao". Tuan rumah yang kami datangi rata-rata melengak heran menemukan seorang bocah sipit "nyelip" dalam rombongan. Ada juga yang lantas tertawa-tawa melihat saya ikut-ikutan "silahturahmi". Tapi yang penting dan masih saya ingat, lumayan juga "angpao" yang berhasil saya kumpulkan. Di rumah, waktu saya tunjukkan tumpukan uang recehan hasil jerih payah saya hari itu, ayah saya terdiam. Tapi ibu saya tertawa-tawa geli. Saya pun heran kenapa saya koq diketawaian. Saya juga tak mengerti mengapa ayah saya mendadak terdiam.
Lebaran, tentu saja didahului ramadhan, dan pada zaman saya masih di sekolah dasar dulu, ramadhan itu identik dengan libur panjang sekolah. Liburannya betul-betul panjang, karena bisa lebih dari sebulan. Sebagai bocah normal, tentu saja saya menyambut libur panjang itu dengan girang. Tapi apa saja yang saya lakukan selama libur panjang itu? Jangan membayangkan saya mengisinya dengan semacam piknik keluarga ke luar kota umpamanya. Tidak. Itu sebuah kemewahan yang bahkan tak terpikirkan saat itu, mengingat kondisi keuangan keluarga yang "ngos-ngosan". Jadi yang saya pilih adalah kegiatan murah-meriah saja : bermain sepuas-puasnya dengan anak-anak "gang" (baca : geng) saya. Dan yang saya maksud dengan anak-anak "gang saya" itu adalah para anak tukang kebun, tukang sapu, dan tukang sampah. Lho?
Begini. Ceritanya dulu itu saya tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sebagian besar penghuninya adalah keluarga-keluarga yang lumayan mapan. Ada juga beberapa keluarga tentara di sana. Sisanya adalah keluarga-keluarga yang, sebut saja, agak susah hidupnya. Keluarga saya masuk dalam kelompok kedua ini. Tapi di bawah kami masih ada sebuah "kasta" lagi yang dianggap masih lebih payah lagi keadaannya. Merekalah para tukang kebun, tukang sapu dan tukang sampah di kompleks perumahan itu. Mereka juga tinggal di kompleks, tapi di "bawah", di pinggir kali yang melintas di belakang kompleks. Mereka mendiami rumah-rumah semi permanen yang dibangun seadanya. Sekarang kita menyebutnya bedeng.
Entah siapa yang memulainya, pembagian "kasta" itu ternyata berlaku juga di kalangan kami, para bocah penghuni kompleks. Ada dua "kasta". Yang pertama disebut atau menyebut diri "anak atas". Kelompok satunya disebut "anak bawah". Anak atas tentu saja anak-anak dari keluarga mapan, dan anak dari keluarga tentara, sedang anak bawah adalah anak dari para tukang sapu dan tukang sampah itu. Anak-anak atas emoh bergaul dengan anak-anak bawah yang sering mereka kata-katai "kotor", "bau", "bego", dan macam-macam lagi. Anak-anak bawah pasrah saja diperlakukan begitu oleh anak-anak atas, yang sering mereka sebut juga "anak-anak gedongan".
Lha, saya sendiri masuk kasta yang mana? Sudah saya ceritakan bahwa keluarga saya adalah anggota dari kasta kedua di kompleks itu. Lalu, kebetulan lokasi rumah saya berdekatan dengan lokasi di mana anak-anak bawah itu tinggal. Mungkin karena faktor kedekatan geografis inilah saya kemudian menjadi lebih dekat dengan kelompok yang dianggap underdog itu. Saya bisa begitu leluasa masuk dan keluar rumah mereka, bahkan kamar tidur mereka pun beberapa pernah saya masuki. Saya pun jadi tahu bahwa mereka ternyata sering mandi tanpa sabun. Hanya gebyar-gebyur air doang. Saya pun tahu menu makan siang mereka, karena suka menemani mereka makan siang sebelum mereka berangkat ke sekolah. Komposisinya biasanya tetap : nasih putih, sayur bening, lalu sambal (yang kayaknya selalu ada). Kadang ada juga potongan tempe goreng dan ikan asinnya. Sementara itu, untuk masuk ke dalam kelompok "anak-anak atas", saya merasa mengalami kesulitan. Lagi pula teman-teman yang "anak-anak gedongan" itu tampaknya tidak begitu rela kalau saya yang "culun" dan sering bergaul dengan anak tukang sampah ikut bergabung dengan mereka.
Tapi, lantas apa hubungannya semua ceritamu itu dengan Lebaran? Lha itu, saya sebetulnya cuma mau cerita bahwa masa-masa liburan ramadhan saya dulu itu saya isi bersama anak-anak dari "bawah" itu, tapi kan saya tidak bisa cerita langsung begitu saja. Maksud saya, settingnya harus disusun dulu. Dan itu adalah salah satu episode hidup saya yang saya anggap indah. Saya bersyukur pernah mengalaminya. Dari merekalah misalnya, saya belajar tahu bahwa kalau sudah bulan puasa, "setan-setan pada ditangkapi, supaya tak mengganggu orang yang puasa". Itulah sebabnya dulu, kalau lagi bulan puasa saya tak takut keluyuran malam sendirian, karena percaya tak bakal ada setan atau kuntillanak yang bakal mengganggu saya.
Dan pada suatu hari Lebaran, saya sudah lupa bagaimana awalnya, saya ikut bergabung dalam rombongan mereka, para anak tukang sapu itu, berkeliling dari rumah ke rumah menadah "angpao". Tuan rumah yang kami datangi rata-rata melengak heran menemukan seorang bocah sipit "nyelip" dalam rombongan. Ada juga yang lantas tertawa-tawa melihat saya ikut-ikutan "silahturahmi". Tapi yang penting dan masih saya ingat, lumayan juga "angpao" yang berhasil saya kumpulkan. Di rumah, waktu saya tunjukkan tumpukan uang recehan hasil jerih payah saya hari itu, ayah saya terdiam. Tapi ibu saya tertawa-tawa geli. Saya pun heran kenapa saya koq diketawaian. Saya juga tak mengerti mengapa ayah saya mendadak terdiam.
No comments:
Post a Comment