Seno sudah menuliskan
kisah itu, Sapardi telah memerasnya
menjadi puisi, dan kau telah pula
menceritakannya berkali-kali.
Ada pun aku, cuma ingin sekedar
mengenangkannya--karena
tak kupunya banyak kata.
Lagi pula, berhadapan dengan
prahara begitu dahsyatnya,
kalimat-kalimatku yang miskin
bukankah cuma akan jadi beban?
Karena itu, aku sekedar ingin
mengenang saja, hari-hari
sewaktu kita berkerumun tegang
di mulut gang itu. Menunggu
sesuatu (entah apa) yang
sepertinya bakal tiba
kapan saja, dan dari arah
mana saja. Sesuatu itu boleh
jadi adalah kenyataan yang
paling buruk dalam hidup
setiap kita. Begitu buruknya
sehingga aku pun tak ragu lagi
menukar puisiku hari-hari itu
dengan kilatan belati.
Sapardi telah meringkasnya
dengan cermat, Seno menuturkan
kisah itu seru sekali, dan kau
agaknya masih akan kembali
mengulang ceritamu. Tapi
aku cukup puas dengan sekedar
mengenangkannya saja. Hari-hari
ketika kota kita dikepung
api. Dan langit, dan langit
digantungi asap, begitu kelam
dan tebalnya, hingga
kita pun bertanya-tanya
bodoh, adakah Dia juga ikut
terbakar di dalam sana?
No comments:
Post a Comment