Tulisan ini sebelumnya pernah “dipinjamkan” ke Perca—sebuah blog khusus review buku— dengan judul Meditasi Panjang Abdul Hadi WM, dan kemudian dimuat juga di Kutu Buku. Kini tulisan ini kembali ke habitat asalnya. Mudah-mudahan masih belum basi dan bermanfaat.
SUDAH sejak sekitar 10 tahunan ini penerbit Grasindo rajin menerbitkan seri “100 puisi pilihan” dari penyair-penyair senior kita. Kalau tak keliru proyek ini dulu diawali dengan antologi puisi Goenawan Mohamad, “Asmaradhana”. Sesudahnya nama-nama besar lain semisal Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang – untuk sekedar menyebut contoh – bergiliran mendapat kehormatan itu. Agak mengherankan bahwa Abdul Hadi WM, yang juga adalah salah satu nama besar di dunia puisi nasional, seperti terlewatkan. Padahal nama-nama lainnya yang lebih “yunior” – sebutlah Isbedy Stiawan SZ atau Soni Farid Maulana – malah sudah terbit duluan bukunya. Apa pun kisah di belakangnya, saat ini antologi “100 puisi pilihan” Abdul Hadi WM, yang dijuduli “Madura, Luang Prabhang”, sudah hadir di tengah kita.
Antologi ini memuat karya-karya Abdul Hadi antara 1965-1992, periode yang diakui oleh penyairnya sendiri sebagai masa-masa suburnya. Dan buku “Madura, Luang Prabhang” memang memajang sajak-sajak unggulannya, yang sudah berhasil mendongkrak nama penyairnya menjadi salah satu ikon puisi Indonesia modern.
Karena merentang antara 1965-1992 (27 tahun), dengan sendirinya buku ini memberikan gambaran yang cukup utuh seputar perjalanan kepenyairan Abdul Hadi. Pergeseran tema dan gaya ucap sangat terasa terutama pada puisi-puisi yang ditulis pasca 1980-an. Kegelisahan-kegelisahan “eksistensialistik” yang menandai periode “Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur”, “Cermin”, “Tergantung pada Angin”, dan “Meditasi”, beralih pada kerinduan mitis-relijius yang lebih tenang. Umur bertambah, dan sang penyair pun agaknya berubah. Sangat wajar dan biasa.
Dan itu agaknya juga membawa konsekuensi pada gaya ucap. Seolah “lelah” dengan gaya puisi lamanya yang cenderung “samar dan gelap”, pada periode akhir (1990-an), penyair kerap hadir dengan puisi-puisi yang bergaya ucap “terang benderang”. Marilah saya cuplilkkan sebuah contoh :
Barat dan Timur
Barat dan timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Buddha
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud. Laotze
Sidharta, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Namun hanya pada Muhammad Rasulullah
Dan di masjid aku berkhidmad
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana
Puisi di atas sangat terasa berbeda jika dibandingkan dengan puisi-puisi Abdul Hadi dari periode “eksistensialistiknya” dulu. Selain “terang ben derang”, sajak di atas juga jatuh pada bombasme dan sloganistik pula – hal-hal yang dulu paling dicereweti Abdul Hadi dalam menyikapi sebuah puisi. Marilah kita tengok sebuah puisi lamanya yang ditulis pada 1972, yang walaupun secara tematis begitu “remeh” dan “biasa”, tapi sebagai puisi mampu hadir dengan demikian utuhnya. Saya kutipkan selengkapnya :
Sehabis Hujan Kecil
Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau
Pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
Angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas
Akhirnya, sebagai penikmat puisi, saya hanya bisa berharap Abdul Hadi WM masih akan terus membombardir kita dengan puisi-puisi barunya yang lebih bagus lagi. Dan “meditasi panjangnya” tidak selesai begitu saja sampai di sini, di Luang Prabhang ini, di mana “… Hanya terdengar dengung laler di jalan-jalan dan kedai”, dan “Di jalan ke kuil, sekelompok serdadu yang letih bermain gitar mencari keindahan antara sinar bulan dan bau bangkai” (sajak “Luang Prabhang”, hal. 76).
SUDAH sejak sekitar 10 tahunan ini penerbit Grasindo rajin menerbitkan seri “100 puisi pilihan” dari penyair-penyair senior kita. Kalau tak keliru proyek ini dulu diawali dengan antologi puisi Goenawan Mohamad, “Asmaradhana”. Sesudahnya nama-nama besar lain semisal Sapardi Djoko Damono, Subagio Sastrowardoyo, Sitor Situmorang – untuk sekedar menyebut contoh – bergiliran mendapat kehormatan itu. Agak mengherankan bahwa Abdul Hadi WM, yang juga adalah salah satu nama besar di dunia puisi nasional, seperti terlewatkan. Padahal nama-nama lainnya yang lebih “yunior” – sebutlah Isbedy Stiawan SZ atau Soni Farid Maulana – malah sudah terbit duluan bukunya. Apa pun kisah di belakangnya, saat ini antologi “100 puisi pilihan” Abdul Hadi WM, yang dijuduli “Madura, Luang Prabhang”, sudah hadir di tengah kita.
Antologi ini memuat karya-karya Abdul Hadi antara 1965-1992, periode yang diakui oleh penyairnya sendiri sebagai masa-masa suburnya. Dan buku “Madura, Luang Prabhang” memang memajang sajak-sajak unggulannya, yang sudah berhasil mendongkrak nama penyairnya menjadi salah satu ikon puisi Indonesia modern.
Karena merentang antara 1965-1992 (27 tahun), dengan sendirinya buku ini memberikan gambaran yang cukup utuh seputar perjalanan kepenyairan Abdul Hadi. Pergeseran tema dan gaya ucap sangat terasa terutama pada puisi-puisi yang ditulis pasca 1980-an. Kegelisahan-kegelisahan “eksistensialistik” yang menandai periode “Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur”, “Cermin”, “Tergantung pada Angin”, dan “Meditasi”, beralih pada kerinduan mitis-relijius yang lebih tenang. Umur bertambah, dan sang penyair pun agaknya berubah. Sangat wajar dan biasa.
Dan itu agaknya juga membawa konsekuensi pada gaya ucap. Seolah “lelah” dengan gaya puisi lamanya yang cenderung “samar dan gelap”, pada periode akhir (1990-an), penyair kerap hadir dengan puisi-puisi yang bergaya ucap “terang benderang”. Marilah saya cuplilkkan sebuah contoh :
Barat dan Timur
Barat dan timur adalah guruku
Muslim, Hindu, Kristen, Buddha
Pengikut Zen atau Tao
Semua adalah guruku
Kupelajari dari semua orang saleh dan pemberani
Rahasia cinta, rahasia bara menjadi api menyala
Dan tikar sembahyang sebagai pelana menuju arasy-Nya
Ya, semua adalah guruku
Ibrahim, Musa, Daud. Laotze
Sidharta, Zarathustra, Socrates, Isa Almasih
Namun hanya pada Muhammad Rasulullah
Dan di masjid aku berkhidmad
Walau jejak-Nya
Kujumpai di mana-mana
Puisi di atas sangat terasa berbeda jika dibandingkan dengan puisi-puisi Abdul Hadi dari periode “eksistensialistiknya” dulu. Selain “terang ben derang”, sajak di atas juga jatuh pada bombasme dan sloganistik pula – hal-hal yang dulu paling dicereweti Abdul Hadi dalam menyikapi sebuah puisi. Marilah kita tengok sebuah puisi lamanya yang ditulis pada 1972, yang walaupun secara tematis begitu “remeh” dan “biasa”, tapi sebagai puisi mampu hadir dengan demikian utuhnya. Saya kutipkan selengkapnya :
Sehabis Hujan Kecil
Retakan hujan yang tadi jatuh, berkilau
Pada kelopak kembang yang memerah
Antara batu-batu hening merenungi air kolam
Angin bercakap-cakap, sehelai daun terperanjat dan lepas
Akhirnya, sebagai penikmat puisi, saya hanya bisa berharap Abdul Hadi WM masih akan terus membombardir kita dengan puisi-puisi barunya yang lebih bagus lagi. Dan “meditasi panjangnya” tidak selesai begitu saja sampai di sini, di Luang Prabhang ini, di mana “… Hanya terdengar dengung laler di jalan-jalan dan kedai”, dan “Di jalan ke kuil, sekelompok serdadu yang letih bermain gitar mencari keindahan antara sinar bulan dan bau bangkai” (sajak “Luang Prabhang”, hal. 76).
No comments:
Post a Comment