SETIAP penulis, bahkan yang “juara nobel” sekalipun, pasti pernah mengalami saat-saat vakum dan buntu berkarya. Waktunya tak menentu, bisa hanya beberapa minggu, tapi mungkin saja berbulan-bulan. Itulah kiranya masa-masa paling “bete” dan mencemaskan bagi sebagian penulis. Maka ada yang kemudian menjadi tidak sabaran lalu memakai cara-cara “tidak biasa”—mengonsumsi ganja atau ramuan aneh lain--untuk memaksa sang ilham buru-buru datang menemuinya.
Ada pula yang lebih suka menempuh jalan “relijius”. Remy Sylado berkisah tentang seorang penyair Yogya yang punya kebiasaan mandi kumkum di Parangtritis sebagai upaya memanggil ilham. Ada juga yang merasa perlu melakukan “puasa” dulu, melakoni hidup bermati-raga selama beberapa waktu, karena kondisi batin yang “bersih” konon katanya berkorelasi erat dengan suasana kondusif dalam proses penciptaan.
Tapi mengalami saat-saat “vakum”, saat-saat mandul sewaktu tidak sebaris pun puisi bisa ditulis sebetulnya ada berkahnya juga. Karena seorang penyair hakikatnya adalah manusia biasa maka ia pun memerlukan jeda dari kekhusukannya menulis. Tanpa jeda itu ia akan menjadi mahluk asing—dan mungkin “aneh--di tengah masyarakatnya. Pada saat jeda itulah ia kembali berkesempatan menjadi manusia “normal”, turun dari “awan gemawan” dan mendarat di bumi sebagai orang kebanyakan pada umumnya, yang tidak terbebas dari segala tetek bengek keseharian.
Saat-saat “vakum” itu sebetulnya juga bisa disulapnya menjadi waktu yang tidak mubazir. Sebab pada saat-saat seperti itulah ia mendapat peluang untuk melihat banyak hal dari sudut pandang yang lain. Bukankah ini juga sebuah kesempatan untuk “ngeluyur” guna mendapatkan lanskap baru dan segar? Kelak setelah waktu jeda itu lewat ia pun akan kembali ke puncak “menara kata”, tempatnya khusuk mengolah hidup, sebagai seorang penulis yang sudah jauh lebih diperkaya.
Ada pula yang lebih suka menempuh jalan “relijius”. Remy Sylado berkisah tentang seorang penyair Yogya yang punya kebiasaan mandi kumkum di Parangtritis sebagai upaya memanggil ilham. Ada juga yang merasa perlu melakukan “puasa” dulu, melakoni hidup bermati-raga selama beberapa waktu, karena kondisi batin yang “bersih” konon katanya berkorelasi erat dengan suasana kondusif dalam proses penciptaan.
Tapi mengalami saat-saat “vakum”, saat-saat mandul sewaktu tidak sebaris pun puisi bisa ditulis sebetulnya ada berkahnya juga. Karena seorang penyair hakikatnya adalah manusia biasa maka ia pun memerlukan jeda dari kekhusukannya menulis. Tanpa jeda itu ia akan menjadi mahluk asing—dan mungkin “aneh--di tengah masyarakatnya. Pada saat jeda itulah ia kembali berkesempatan menjadi manusia “normal”, turun dari “awan gemawan” dan mendarat di bumi sebagai orang kebanyakan pada umumnya, yang tidak terbebas dari segala tetek bengek keseharian.
Saat-saat “vakum” itu sebetulnya juga bisa disulapnya menjadi waktu yang tidak mubazir. Sebab pada saat-saat seperti itulah ia mendapat peluang untuk melihat banyak hal dari sudut pandang yang lain. Bukankah ini juga sebuah kesempatan untuk “ngeluyur” guna mendapatkan lanskap baru dan segar? Kelak setelah waktu jeda itu lewat ia pun akan kembali ke puncak “menara kata”, tempatnya khusuk mengolah hidup, sebagai seorang penulis yang sudah jauh lebih diperkaya.
1 comment:
Bung Ook,
Aku sedang mengalami masa vakum dalam penulisan desertasiku. Aku tahu bahwa proses penulisan desertasi dan puisi berbeda, tetapi keduanya juga bisa mengalami masa vakum.
Bukannya aku tidak tahu apa yang mau ditulis, tetapi selalu ada rasa penolakan, karena itu aku tetap sering paksakan untuk menulis. Akabatnya, pernah suatu saat aku merasa hampir muntah.
Sekarang aku sedang slow down, "berpuasa" sedikit. Semoga setelah itu aku bisa "mendarat di bumi" dengan semangat baru (Pinjam beberapa istilah dari Bung Ook).
Post a Comment