https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

08 August 2007

Acep Zamzam Noor, Penyair Santri yang Romantis

ACEP ZAMZAM NOOR adalah satu dari sedikit penyair kelahiran dasawarsa 60-an yang masih bertahan. Ia mulai dikenal dan diperhitungkan pada dekade 80-an, dan sebagai penyair kehadiran awalnya ditandai dengan puisi-puisi relijius yang banyak memanfaatkan simbol-simbol alam sebagai perabot ucapnya. Ia tergolong penulis subur, sejumlah buku puisi lahir dari tangannya, dan sejumlah penghargaan sastra bergengsi juga pernah disambarnya

Belakangan ia juga tertarik menggarap tema-tema sosial, dan sepertinya ia tak menemui kesulitan berarti memindahkan riuh-rendah keributan sosial politik di negeri ini ke dalam puisi-puisinya. Beberapa sajak lepasnya yang muncul di Jurnal kebudayaan Kalam dan harian Kompas membuktikan itu. Ia cukup berhasil menjaga roh puisinya untuk tidak sampai terkubur dalam kemarahan atau protes yang ditulisnya.

Selain tema relijius dan sosial Acep Zamzam Noor juga kerap menuliskan puisi-puisi cinta yang romantis. Buku puisinya Menjadi Penyair Lagi (Penerbit : Pustaka Azan, 2007) mungkin boleh dianggap mewakili tren “puisi romantis” itu. Antologi ini dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok 1 menampung puisi lama (1978-1989) yang kata Acep “sempat tercecer dan terlupakan” selama ini. Sebagian lagi berisi puisi-puisi barunya (1990-2006).

Menulis puisi cinta sekali-sekali bukan perkara mudah. Tak kurang dari seorang Rilke pernah memberi awas-awas dalam urusan ini. Tema ini gampang sekali menjerumuskan seorang penyair pada resiko banalitas dan klise atau visualisasi puitikal yang fisikal saja sifatnya. Apakah Acep bisa menghindar dari jebakan-jebakan itu?


Bagian pertama dari buku ini yang didominasi puisi-puisi awal Acep “remaja”, cukup banyak memperlihatkan “kecerobohan” penyair dalam memilih kata dan diksi sehingga kelihatan ia kerap kedodoran. Kelemahan itu untunglah bisa ditebusnya pada bagian 2 antologi ini. Di sini, Acep yang sudah tidak “remaja” lagi mempertontonkan kematangannya dalam mengolah kata dan rasa, sehingga kemudian terbangun suasana puitikal yang utuh.

Ada beberapa sajak yang mungkin bisa dianggap contoh puisi unggulan dari “tema romantis” Acep dari buku ini. Bacalah misalnya puisi-puisi Angin Pegunungan, Debar, Sajak Nakal, Lembah Anai, Sepak Bola, Kutitipkan, Selain Hujan, dan beberapa lagi. Secara pribadi saya kesengsem sekali pada Sajak Nakal. Puisi pendek dan padat ini memperlihatkan sebuah percobaan penyair untuk sampai pada gaya ungkap yang lain, yang “berbeda” dari banyak puisinya umumnya. Dan menurut saya ia cukup berhasil
.

Sajak Nakal

Doa-doaku
Menyelinap ke dalam
Kutangmu. Seperti tangan

Tanganku
Nakal
Seperti doa

Meremas payudaramu
Di sorga

(Menjadi Penyair Lagi, hal. 74)

Jadi, buku ini tidak jelek. Kalau ada kekurangan maka menurut saya itu disebabkan hadirnya sejumlah puisi lama Acep dalam antologi ini. Keputusan penyair memasukkan puisi lamanya menurut saya sebuah “kecelakaan”. Acep sendiri dalam pengantarnya menulis bahwa ia memasukkan sajak-sajak lamanya karena”ia menemukan benang merah yang menghubungkan puisi awalnya dengan kecenderungan terakhirnya, yaitu kembalinya ia menyukai bentuk pengucapan sederhana”. Memang, seorang penyair bisa saja terkecoh oleh puisinya sendiri.

1 comment:

Nizar Alamsyah said...

tulisan yang bagus. saya juga suka baca puisi acep. terimakasih

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...