NIRWAN DEWANTO adalah sebuah fenomena. Ia membuat banyak orang terlongong-longong pada Kongres Kebudayaan 1991 dengan perfoma intelektualnya yang begitu prima saat itu. Dalam usia begitu muda ia tak kelihatan jadi kagok atau minder duduk berendeng dengan sejumlah nama besar dalam jagat “persilatan” intelektual di negeri ini..
Namun sebetulnya beberapa tahun sebelumnya ia sudah “hadir”, tapi boleh jadi banyak orang belum begitu memperhitungkannya. Sajak-sajaknya yang memikat membombardir Dialog, ruang budaya koran Berita Buana yang pada masa itu menjadi salah satu forum sastra yang paling diperhitungkan—di luar majalah sastra Horison.
Pada 19 Juni 1987 bersama Acep Zamzam Noor dan Soni Farid Maulana ia tampil di TIM dalam sebuah acara baca puisi yang diberi label “Tiga Penyair Bandung”. Bagi saya pribadi forum ini menjadi sebuah penanda awal yang cukup meyakinkan bahwa betul seorang penyair (dan pemikir) baru sudah lahir di tengah kita.
Dalam diskusi yang diadakan sesudah pembacaan puisi itu ada beberapa hal menarik yang terlontar. Nirwan bertutur perihal sajak-sajak yang barusan dibacakannya, yang dicomotnya dari Buku Cacing, kumpulan sajak pertamanya yang entah mengapa hingga kini urung terbit.
Sajak-sajak dalam buku itu adalah hasil pengembaraan teknisnya. Di sana persoalan “bentuk” lebih mendapatkan perhatiannya. Bentuk di situ digarapnya habis-habisan. Hasilnya memang sajak-sajak yang secara teknis "sempurna”. Tapi bukan tanpa resiko. Irawan Sandya menyebut sajak-sajaknya sebagai “gelap dan sukar didekati”. Sajak berikut ini mungkin bisa dijadikan contohnya :
Improvisasi 4
Bulan telah pecah
Oleh ombak :
Dan kini ia mengeras kembali
Di antara rerumputan
Bagai sekuntum bunga
Dengan sisa wewangian
Aku menyusun malam
Yakni ketika lautan
Memantulkan wajah kita
Mataku penuh pasir
Dari kuntum ke kuntum pastilah
Kau tengah bergulir
Biarkanlah embun berkilat
Memimpikan ombak
Langit tak bakal mengenali kita
Tapi ingin bernyanyi di jalanan :
Tak ada rahasia di lautan
Tak ada luka di taman
Jika bulan mencurimu
Memabukkanmu dalam ayunan
Aku akan terbaring beku
Menampung cahayanya dengan mulutku
Atas penilaian itu Nirwan menjawab bahwa dia sudah beranjak pada tren lain. Bentuk tidak lagi menjadi tujuan utama. Buku Cacing adalah sebagian dari masa silamnya, yang tak bakal kembali, katanya menegaskan. Ia pun menunjuk beberapa sajak untuk lebih menjelaskan maksudnya, seperti misalnya penggalan dua sajaknya di bawah ini :
Jika cinta bertanya, manakah yang lebih indah
Memiliki seorang perempuan atau seekor anjing?
Tundalah jawabanmu sampai akhirnya kau mati
Dan cinta akan akan tahu
Bahwa kau masih terikat di bumi
(Dari sajak Cinta adalah Teror)
Dan jika aku tak bisa membedakan lagi
Satu musim lewat dan satu musim lain datang
Aku akan membuang semua pakaian dan sepatuku
Berlari telanjang di jalanan memandang arah neraka
Biarlah gedung-gedung itu tersipu malu melihatku
Sampai seorang anak datang mengerat kelaminku
Dan dari lapangan rumput kering yang masih tersisa
Kutulis surat kepada ikan-ikan di laut dengan darahku
Agar mereka selalu bersabar menunggu hari kematianku
(Dari sajak Masa Kanak-Kanakku Mengambang di Laut)
Terasa memang ada perbedaan “suasana” dalam baris-baris di atas. Dalam istilahnya sendiri Nirwan berkata bahwa ia tengah beranjak dari model sajak-sajak yang “tertutup” ke bentuk sajak yang lebih “terbuka”, lebih longgar dalam struktur pengucapannya. "Saya ingin bahasa puisi saya menjadi bahasa sehari-hari, dan bahasa sehari-hari saya menjadi puisi", ujarnya..
Tentulah menarik untuk melihat seperti apa sajak-sajaknya 20 tahun sesudah statemen retorisnya itu. Kalau mengambil sajak-sajaknya di Kompas sebagai contoh, maka menurut saya Nirwan saat ini justru "kembali" pada periode awalnya, periode tatkala “bentuk” menjadi target artistiknya. Sajak-sajaknya kembali pada bentuk yang “tertutup”, dan bagi saya masih saja terasa “pekat serta susah” didekati. Kita lihat saja kutipan berikut :
Perenang Buta
Sepuluh atau seribu depa
ke depan sana, terang semata.
Dan arus yang membimbingnya
seperti sobekan pada jubah
tanjung yang dicurinya.
Tak beda ubur-ubur atau dara
mendekat ke punggungnya
yang tumbuh sekaligus memar
oleh kuas gerimis akhir Mei.
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.
Tapi ia hanya berhenti, berhenti
di tengah, di mana rambutnya
bubar seperti ganggang biru
atau gelap seperti akar benalu
sehingga betapa mercusuar itu
ragu-ragu memandangnya.
(Dikutip dari Kompas, 5 Agustus 2007)
Kecenderungan untuk beranjak pada model sajak yang lebih “terbuka” ternyata tidak berlanjut.Tapi secara kualitatif tak ada keberatan yang bisa diajukan pada puisi-puisi terbarunya itu. Sajak-sajaknya masihlah sangat sedap dinikmati. Saya pribadi teramat menantikan kelahiran atau terbitnya buku puisinya. Tapi Nirwan Dewanto agaknya bukanlah jenis penulis yang suka terburu-buru menerbitkan buku, meskipun kesempatan baginya begitu terbuka.
Namun sebetulnya beberapa tahun sebelumnya ia sudah “hadir”, tapi boleh jadi banyak orang belum begitu memperhitungkannya. Sajak-sajaknya yang memikat membombardir Dialog, ruang budaya koran Berita Buana yang pada masa itu menjadi salah satu forum sastra yang paling diperhitungkan—di luar majalah sastra Horison.
Pada 19 Juni 1987 bersama Acep Zamzam Noor dan Soni Farid Maulana ia tampil di TIM dalam sebuah acara baca puisi yang diberi label “Tiga Penyair Bandung”. Bagi saya pribadi forum ini menjadi sebuah penanda awal yang cukup meyakinkan bahwa betul seorang penyair (dan pemikir) baru sudah lahir di tengah kita.
Dalam diskusi yang diadakan sesudah pembacaan puisi itu ada beberapa hal menarik yang terlontar. Nirwan bertutur perihal sajak-sajak yang barusan dibacakannya, yang dicomotnya dari Buku Cacing, kumpulan sajak pertamanya yang entah mengapa hingga kini urung terbit.
Sajak-sajak dalam buku itu adalah hasil pengembaraan teknisnya. Di sana persoalan “bentuk” lebih mendapatkan perhatiannya. Bentuk di situ digarapnya habis-habisan. Hasilnya memang sajak-sajak yang secara teknis "sempurna”. Tapi bukan tanpa resiko. Irawan Sandya menyebut sajak-sajaknya sebagai “gelap dan sukar didekati”. Sajak berikut ini mungkin bisa dijadikan contohnya :
Improvisasi 4
Bulan telah pecah
Oleh ombak :
Dan kini ia mengeras kembali
Di antara rerumputan
Bagai sekuntum bunga
Dengan sisa wewangian
Aku menyusun malam
Yakni ketika lautan
Memantulkan wajah kita
Mataku penuh pasir
Dari kuntum ke kuntum pastilah
Kau tengah bergulir
Biarkanlah embun berkilat
Memimpikan ombak
Langit tak bakal mengenali kita
Tapi ingin bernyanyi di jalanan :
Tak ada rahasia di lautan
Tak ada luka di taman
Jika bulan mencurimu
Memabukkanmu dalam ayunan
Aku akan terbaring beku
Menampung cahayanya dengan mulutku
Atas penilaian itu Nirwan menjawab bahwa dia sudah beranjak pada tren lain. Bentuk tidak lagi menjadi tujuan utama. Buku Cacing adalah sebagian dari masa silamnya, yang tak bakal kembali, katanya menegaskan. Ia pun menunjuk beberapa sajak untuk lebih menjelaskan maksudnya, seperti misalnya penggalan dua sajaknya di bawah ini :
Jika cinta bertanya, manakah yang lebih indah
Memiliki seorang perempuan atau seekor anjing?
Tundalah jawabanmu sampai akhirnya kau mati
Dan cinta akan akan tahu
Bahwa kau masih terikat di bumi
(Dari sajak Cinta adalah Teror)
Dan jika aku tak bisa membedakan lagi
Satu musim lewat dan satu musim lain datang
Aku akan membuang semua pakaian dan sepatuku
Berlari telanjang di jalanan memandang arah neraka
Biarlah gedung-gedung itu tersipu malu melihatku
Sampai seorang anak datang mengerat kelaminku
Dan dari lapangan rumput kering yang masih tersisa
Kutulis surat kepada ikan-ikan di laut dengan darahku
Agar mereka selalu bersabar menunggu hari kematianku
(Dari sajak Masa Kanak-Kanakku Mengambang di Laut)
Terasa memang ada perbedaan “suasana” dalam baris-baris di atas. Dalam istilahnya sendiri Nirwan berkata bahwa ia tengah beranjak dari model sajak-sajak yang “tertutup” ke bentuk sajak yang lebih “terbuka”, lebih longgar dalam struktur pengucapannya. "Saya ingin bahasa puisi saya menjadi bahasa sehari-hari, dan bahasa sehari-hari saya menjadi puisi", ujarnya..
Tentulah menarik untuk melihat seperti apa sajak-sajaknya 20 tahun sesudah statemen retorisnya itu. Kalau mengambil sajak-sajaknya di Kompas sebagai contoh, maka menurut saya Nirwan saat ini justru "kembali" pada periode awalnya, periode tatkala “bentuk” menjadi target artistiknya. Sajak-sajaknya kembali pada bentuk yang “tertutup”, dan bagi saya masih saja terasa “pekat serta susah” didekati. Kita lihat saja kutipan berikut :
Perenang Buta
Sepuluh atau seribu depa
ke depan sana, terang semata.
Dan arus yang membimbingnya
seperti sobekan pada jubah
tanjung yang dicurinya.
Tak beda ubur-ubur atau dara
mendekat ke punggungnya
yang tumbuh sekaligus memar
oleh kuas gerimis akhir Mei.
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.
Tapi ia hanya berhenti, berhenti
di tengah, di mana rambutnya
bubar seperti ganggang biru
atau gelap seperti akar benalu
sehingga betapa mercusuar itu
ragu-ragu memandangnya.
(Dikutip dari Kompas, 5 Agustus 2007)
Kecenderungan untuk beranjak pada model sajak yang lebih “terbuka” ternyata tidak berlanjut.Tapi secara kualitatif tak ada keberatan yang bisa diajukan pada puisi-puisi terbarunya itu. Sajak-sajaknya masihlah sangat sedap dinikmati. Saya pribadi teramat menantikan kelahiran atau terbitnya buku puisinya. Tapi Nirwan Dewanto agaknya bukanlah jenis penulis yang suka terburu-buru menerbitkan buku, meskipun kesempatan baginya begitu terbuka.
1 comment:
bagus mas turun gunung lagi yak...
Post a Comment