KEBERADAAN “sastra koran” sampai saat ini masih menuai kontroversi. Serangan paling serius ditujukan kepada para pengelola rubrik sastra di koran itu, yang sering dituduh “tidak obyektif” dan “pilih kasih”. Di luar soal itu sinisme ditujukan pada mutu sastranya. Dengan format halaman yang terbatas, diyakini sulit mengharapkan munculnya inovasi besar dan penting dari sastra koran. Tapi betulkah demikian?
Mungkin klaim itu benar sejauh menyangkut genre prosa, yang menuntut jatah halaman luas. Tapi untuk genre puisi, rasanya masih boleh kita berharap sesuatu. Karena bentuk fisiknya yang jauh lebih mini dan “ringkas”, puisi-puisi kita masih bisa bergerak leluasa di antara kolom-kolom koran yang tersisa sesudah digerogoti iklan. Artinya masih bolehlah kita berharap akan menemukan di koran puisi-puisi yang memang nyatanya bagus.
Sementara itu kita tahu bahwa sampai saat ini kita masih tetap hanya mempunyai satu majalah sastra saja, yaitu Horison. Sedang Jurnal Kebudayaan Kalam (juga Basis) yang tadinya diharapkan dapat melengkapi kehadiran Horison, sepertinya mempunyai agendanya sendiri. Jadi kembali seperti dulu-dulu, Horison dibiarkan kesepian sendiri. Sementara itu penerbitan buku-buku puisi masih juga tidak menunjukkan iklim yang membaik.
Dengan kondisi yang seperti itu, menjadi tidak kelewat salah juga kalau lantas muncul anggapan bahwa puisi-puisi di koran itu akhirnya menjadi cerminan yang paling mewakili keberadaan panggung puisi kita saat ini. Puisi-puisi koran itu, suka tak suka, menjadi barometer pencapaian puisi kita saat ini.
Sudah tentu klaim ini juga tidak sahih seratus persen—paling tidak Saut Situmorang pasti akan protes keras. Saya pribadi juga percaya pastilah masih ada banyak potensi puisi bagus kita yang sejauh ini tak sempat terangkat ke permukaan. Rimba belantara puisi kita, mungkin seperti rimba persilatan yang bengis, pastilah dipenuhi oleh--untuk meminjam judul sebuah film Ang Lee--the hidden dragon and crouching tiger.
Alangkah dahsyatnya kalau para "naga” dan “harimau” itu bisa seluruhnya dipancing keluar dari sarangnya.
Mungkin klaim itu benar sejauh menyangkut genre prosa, yang menuntut jatah halaman luas. Tapi untuk genre puisi, rasanya masih boleh kita berharap sesuatu. Karena bentuk fisiknya yang jauh lebih mini dan “ringkas”, puisi-puisi kita masih bisa bergerak leluasa di antara kolom-kolom koran yang tersisa sesudah digerogoti iklan. Artinya masih bolehlah kita berharap akan menemukan di koran puisi-puisi yang memang nyatanya bagus.
Sementara itu kita tahu bahwa sampai saat ini kita masih tetap hanya mempunyai satu majalah sastra saja, yaitu Horison. Sedang Jurnal Kebudayaan Kalam (juga Basis) yang tadinya diharapkan dapat melengkapi kehadiran Horison, sepertinya mempunyai agendanya sendiri. Jadi kembali seperti dulu-dulu, Horison dibiarkan kesepian sendiri. Sementara itu penerbitan buku-buku puisi masih juga tidak menunjukkan iklim yang membaik.
Dengan kondisi yang seperti itu, menjadi tidak kelewat salah juga kalau lantas muncul anggapan bahwa puisi-puisi di koran itu akhirnya menjadi cerminan yang paling mewakili keberadaan panggung puisi kita saat ini. Puisi-puisi koran itu, suka tak suka, menjadi barometer pencapaian puisi kita saat ini.
Sudah tentu klaim ini juga tidak sahih seratus persen—paling tidak Saut Situmorang pasti akan protes keras. Saya pribadi juga percaya pastilah masih ada banyak potensi puisi bagus kita yang sejauh ini tak sempat terangkat ke permukaan. Rimba belantara puisi kita, mungkin seperti rimba persilatan yang bengis, pastilah dipenuhi oleh--untuk meminjam judul sebuah film Ang Lee--the hidden dragon and crouching tiger.
Alangkah dahsyatnya kalau para "naga” dan “harimau” itu bisa seluruhnya dipancing keluar dari sarangnya.
1 comment:
bagus blognya mas..saya add jadi link di blog saya boleh ya? kalau ada waktu kunjungi blog saya..
salam kenal...
Post a Comment