https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

05 January 2008

Sastrawan Amphibia

BANYAK dari kita, dengan berbagai alasan, melakoni gaya hidup amphibia—atau kompromistis, kalau anda ingin menyebutnya begitu. Tidak terkecuali para penulis. Banyak penulis yang karena terpaksa, atau suka rela, nyambi menjadi karyawan, salesman kompor, penyobek karcis bioskop, dan banyak profesi “biasa” lainnya—yang justru “jauh” dari kesibukan berkesenian.

Saya malah pernah kenal seorang penulis yang kepingin untuk sementara waktu nyambi menjadi kuli bangunan. Ketika saya tanya kenapa memilih pekerjaan “murah” dan “kasar” itu, jawabannya membuat saya tercengang. Katanya, dengan takzim, karena pekerjaan itu akan memberinya cukup waktu untuk merenung.

Tapi kiranya lebih banyak perilaku “amphibia” yang terjadi karena desakan ekonomis, ketimbang karena alasan yang idealistis murni. Penyair Afrizal Malna dulu pernah bekerja sebagai pegawai pembukuan. Atas pilihan hidup amphibianya itu ia mempunyai apologi yang menarik. Katanya, ia terpaksa nyambi menjadi karyawan justru untuk bisa menyelamatkan kemurnian semangat kreatifnya.

Sebagai pegawai ia bisa dengan lebih tenang menulis, karena tidak harus tergoda menggadaikan tulisannya hanya demi memenuhi kebutuhan sang perut. Tapi untuk bisa menjaga keseimbangan kreatifnya, ia pun harus berkorban dengan berusaha tetap menjadi karyawan biasa. Ia tak ingin jabatan tinggi karena khawatir akan jadi kelewat repot dan malah tak bisa menulis lagi nantinya.

Pilihan hidup amphibia memang tidak bisa serta-merta dicela. Karena soalnya tidak bisa disimpulkan hitam putih semata. Ada banyak contoh yang membuktikan bahwa dalam posisi serba kepepet sang penulis justru sanggup melahirkan karya-karya besarnya, tapi malah jadi lembek ketika kenyamanan hidup mulai berangsur menghampirinya.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...