https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

02 June 2008

"Matinya" Seorang Penyair

DULU ia adalah salah seorang penyair favorit saya. Namanya sempat cukup menjulang, disebut-sebut sebagai salah satu calon penyair penting di sini--ia berada dalam satu barisan dengan penyair fenomenal Afrizal Malna. Dan memang buku puisi mereka pernah ketiban penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta di tahun yang sama.

Sebagai penyair ia menandai kehadirannya dengan sajak-sajak yang sederhana dan jernih dalam ungkapan.Tema-tema relijius, alam, dan sosial dengan balutan nuansa kontemporer bergantian muncul dalam puisi-puisinya. Memang ia bukanlah jenis penyair yang sekonyong-konyong datang dengan “kejutan”. Tapi seperti banyak penyair lain di masa itu ia mulai dengan merangkak dari kolom-kolom puisi remaja di koran-koran minggu, sebelum akhirnya menaklukkan halaman-halaman “keramat” majalah sastra yang dianggap standar.

Ia berada dalam gerbong besar mainstream puisi Indonesia. Ia tak tampil menyentak, melainkan dengan berindap-indap, sampai suatu saat orang pun menyadari (seraya mengakui) kehadirannya. Ia tak menawarkan “kebaruan”, jika yang dimaksud dengan “kebaruan” adalah hal-hal yang bikin geger. Ia memanfaatkan saja khazanah yang sudah ada. Tapi ia punya style, gaya sendiri, yang membedakannya dari penyair lain—dan bagi seorang penyair bukankah itu yang terpenting?

Suatu kali sebuah radio swasta di Jakarta mewawancarainya. Ada beberapa celutukannya dari obrolan radio itu yang terus saja teringat dan mengiang. Misalnya saya tak akan lupa ketika ia berujar bahwa “… musuh terbesar saya adalah Shakespeare”. Lalu ini, “Saya menulis sajak karena saya penyair, bukan saya menulis sajak supaya disebut penyair”. Yang terakhir itu adalah jawaban ketika kepadanya ditanyakan soal perlu tidaknya “pengakuan” dari orang lain atas kerja menyairnya.

Saya tak pernah sempat berkenalan dengannya, meskipun momen untuk itu bukannya tidak ada. Misalnya, saya pernah melihatnya di kantor majalah Horison yang lama. Di ruang sempit yang selalu acak-acakan itu, ia tampak sedang “pasang omong” dengan Hamsad Rangkuti. Tapi saya merasa kelewat kecil dan tak berarti untuk sekadar menyapanya. Lain ketika, secara mendadak saya berpapasan dengannya di toko buku Gunung Agung. Ketika itu sore, berhujan, saya pas turun di tangga, dan ia sedang naik, dengan payung basah yang belum sempat dilipatnya sempurna. Aih, lagi-lagi saya merasa begitu gugupnya bahkan untuk sekadar menyapanya.

Tahun-tahun berlalu dengan cepat. Saya makin jarang menemukan puisi-puisinya, dan akhirnya betul seperti kehilangan jejaknya sebagai penyair. Sampai belum lama ini saya memergoki buku barunya, tapi bukan buku sastra, apalagi puisi. Ia sudah bertukar habitat, atau mazhab agaknya? Kabarnya sekarang ia memang sudah orang mapan, dan punya jabatan bagus di perusahaan besar.

Jadi mungkinkah karena itu ia lalu menjadi kelewat sibuk dan “tak sempat” (atau tak merasa perlu) lagi menulis puisi? Sayang sekali kalau betul begitu. Padahal Shakespeare masih terus setia menunggunya …

2 comments:

Yagami said...

Kalau saya boleh tahu, sosok siapa yang bapak maksud dalam tulisan di atas?

Yagami said...

Kalau saya boleh tahu, sosok siapa yang bapak maksud dalam tulisan di atas?

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...