KURANG lebih sepuluh hari yang lalu saya mengirimkan naskah kumpulan puisi saya ke sebuah penerbit. Penerbit ini dulunya sebuah yayasan nirlaba yang banyak menelorkan buku-buku puisi bagus, tapi belakangan ini berubah menjadi lembaga yang full profit oriented. Yang juga membedakan adalah penerbit ini sekarang tidak fokus lagi ke buku bertema sastra. Mungkin karena diyakini sastra bukan komoditi yang mendatangkan profit.
Tapi saya tetap “nekat” mengirimkan naskah itu ke sana, antara lain karena salah satu orang penting di sana adalah sesama penyair. Sebetulnya kami tak saling kenal secara pribadi. Dibanding saya—yang kuper ini—nama beliau jauh lebih sohor. Tapi saya tetap berharap bahwa “kesamaan” status antara kami—yaitu bahwa kami sesama penyair--ini bisa membukakan atau menyisakan peluang bagi naskah saya.
Saya tak tahu seberapa realistiskah harapan itu, karena konon katanya “business is business”, apalagi di antara kami memang tiada ikatan perjanjian apa pun yang mesti disepakati. Maka setiap hari saya mengecek email dengan perasaan sedikit was-was : sudah adakah jawaban dari mereka, ditolakkah naskah saya, bagaimana kalau ternyata betulan ditolak? Uaah lumayan menegangkan.
Hanya itulah sementara yang bisa saya lakukan, selain terus berdoa..Perasaan saya ada miripnya mungkin dengan perasaan seorang calon pegawai yang sedang dag dig dug menantikan datangnya surat panggilan kerjanya. Begitulah, saya memang sedang menunggu semacam keajaiban, atau mujizat, hari-hari ini.
Tapi saya tetap “nekat” mengirimkan naskah itu ke sana, antara lain karena salah satu orang penting di sana adalah sesama penyair. Sebetulnya kami tak saling kenal secara pribadi. Dibanding saya—yang kuper ini—nama beliau jauh lebih sohor. Tapi saya tetap berharap bahwa “kesamaan” status antara kami—yaitu bahwa kami sesama penyair--ini bisa membukakan atau menyisakan peluang bagi naskah saya.
Saya tak tahu seberapa realistiskah harapan itu, karena konon katanya “business is business”, apalagi di antara kami memang tiada ikatan perjanjian apa pun yang mesti disepakati. Maka setiap hari saya mengecek email dengan perasaan sedikit was-was : sudah adakah jawaban dari mereka, ditolakkah naskah saya, bagaimana kalau ternyata betulan ditolak? Uaah lumayan menegangkan.
Hanya itulah sementara yang bisa saya lakukan, selain terus berdoa..Perasaan saya ada miripnya mungkin dengan perasaan seorang calon pegawai yang sedang dag dig dug menantikan datangnya surat panggilan kerjanya. Begitulah, saya memang sedang menunggu semacam keajaiban, atau mujizat, hari-hari ini.
2 comments:
wah, bung ook, semoga sukses dengan ikhtiarnya...meski tanpa buku pun, sajak-sajakmu sudah nyaring 'terbaca'
tapi tetap aja rasanya ada yang kurang gitu, lagian kalau ada buku kan lumayan bisa buat pamer ke anak cucu hehehe ... salam ya
Post a Comment