
Sastra pop itu seperti kita makan pisang yang sudah disiapkan dalam sebuah piring. Pisangnya juga sudah dikupas, jadi tinggal kita comot dan kunyah. Sastra mainstream, katanya, mirip dengan itu, tapi ada bedanya sedikit. Bedanya pisang di atas piring itu belum dikupas, jadi untuk memakannya perlu ada “sedikit perjuangan”. Kita musti mengupas dulu kulitnya, sebelum bisa merasakan gurihnya daging sang pisang.
Sastra garda depan lain lagi. Itu seperti kita disuruh makan pisang di atas piring, tapi pisangnya tidak ada di piring itu. Jadi di mana pisangnya, dan bagaimana kita bisa menyantapnya? Lho itulah “hebat”nya sastra garda depan : pisangnya silakan cari sendiri-- pengarang tak menyediakannya. Terserah, mau mencarinya di pasar buah, atau mencurinya di kebun tetangga.
Malahan, kalau pisang yang dicari tidak ketemu juga, tidak ditabukan kalau anda lalu berusaha menciptakan “pisang” sendiri. Soal “ukuran” dan “rasa” pisangnya, juga tidak ada patokan resmi. Pengarangnya membebaskan. Jadi, suka-suka andalah.
No comments:
Post a Comment