Kata-kata dalam sajak itu, kuingat
Seperti curah hujan pada sebuah petang suram
Sewaktu pertama kali membacanya dulu
Terlihat juga kilat guruh dan isyarat badai di kejauhan
Aku nyaris tak kuasa melangkah lagi
Sebab kenangan demi kenangan sekonyong juga turun
Menutup baris-barisnya dengan semacam kebutaan
Terang-benderang yang yang menggiringku ke pinggir jurang
Aku mengira sajak itu bakal berujung
Pada keruntuhan atau semacam putus asa banal
Tapi hujan kemudian reda, angin pun surut
Petang yang membiru kemudian menjadi malam
Penuh cahaya listrik, gerimis yang masih saja turun
Di sana-sini membuat pemandangan jadi mitis mengiris
Kini bisa kulanjutkan lagi perjalanan yang tertunda
Sebuah kota yang kukenal, lanskap yang seimbang
Musim memang tak menjadi mudah, cuaca terus
Tumbuh dan kuyup, dan topan mengirimkan sinyalnya
Tak henti lewat mimpi yang tak utuh lagi perangainya
Tapi setidaknya ada sebuah kota yang kita kenal akrab
Pagi yang sediakala, langit yang seperti langit adanya, pintu
Yang membuka sewaktu segalanya jadi begitu memberat:
Mungkin sebuah sarang, barangkali sebuah sudut tersembunyi
Di mana seorang dari kita bisa duduk bersendiri
Menuliskan baris-baris remeh tak berarti ini
No comments:
Post a Comment