DALAM pidatonya pada penganugerahan Hadiah Sastra Khatulistiwa ke-13 tahun lalu penyair Afrizal Malna antara lain menghaturkan ucapan "terima kasih" kepada toko-toko buku yang menolak menjual buku puisi.
Penolakan itu, menurutnya, justru telah "menyelamatkan" puisi menjadi satu-satunya produk aktivitas kita yang tidak bisa "ditekuk" oleh pasar.
Kalau semuanya diambil olah pasar, apalagikah yang masih tersisa buat kita, begitu dia bertanya retoris.
Puisi Indonesia memang semakin menegaskan dirinya sebagai "produk bawah tanah". Buku-buku puisi pemenang KLA misalnya, dengan pengecualian pada satu-dua judul, tidak pernah bisa ditemukan di rak toko-toko buku. Ia harus belajar merasa puas (dan "tahu diri") dengan menjadi gunjingan sebentar segelintir orang yang tak jelas pula.
Statemen Afrizal Malna, bagi saya, terasa sebagai kegenitan atau "hiburan" yang miris.
(Untuk pidato Afrizal Malna itu sendiri sila menyimaknya di sini).
(Untuk pidato Afrizal Malna itu sendiri sila menyimaknya di sini).
No comments:
Post a Comment