PENYAIR Abdul Hadi WM suatu kali berujar bahwa menulis puisi itu gabungan dari pekerjaan yang sifatnya “teknis” di satu sisi, dan pada sisi satunya pekerjaan “ganjil” itu juga memiliki aspek “idealistik”nya. Keduanya seperti dua sisi pada sekeping mata uang. Tak terpisahkan. Agaknya tidak perlu ada pertengkaran tentang ini.
Di sini saya hanya tertarik memberikan semacam contoh bagaimana urusan “teknis” dalam berpuiisi itu bisa dilakukan. Saya akan mengambil sampel puisi saya sendiri, “Tamu”, yang belum lama ini dipajang di sini. Pada awalnya “Tamu” disajikan dalam bentuk kuatrin sederhana. Belakangan saya merasa kurang sreg, dan iseng mencoba menuliskannya kembali dalam bentuk seperti di bawah ini.
T a m u
Sejumlah kata
Menunggumu di depan pintu
Malam ini
Mereka mengaku
Sudah datang dari jauh
Sengaja mencari alamatmu
Menyebrangi
Pantai dan benua
Luka-luka dan
Kenangan waktu
Mereka temukan
Juga akhirnya addresmu ini
Mereka mengeluh
Sudah letih
Kepingin segera saja ketemu
Melepas kangen
Sebelum lalu istirah
Abadi
Di antara baris-barismu
Setelah dibongkar, saya merasa “Tamu” menjadi agak mendingan dibanding sebelumnya, setidaknya memberi saya “rasa lain” sewaktu membacanya. Entah apakah anda sependapat atau tidak.
Tapi yang mau dikatakan di sini adalah bahwa, aspek “teknis” – dalam konteks ini masalah tipografi -- memang kadang bisa diminta membantu memaksimalkan daya gedor sebuah puisi. Aspek “teknis” bisa saja mengalahkan aspek “idealistis” – atau isi/tema – yang diusung sebuah sajak. Karena, bukankah, masalah penciptaan adalah lebih pada masalah “bagaimana”nya dan bukan pada “apa”nya.
Tentang klausul mendasar ini, adakah kita pun sependapat?
Di sini saya hanya tertarik memberikan semacam contoh bagaimana urusan “teknis” dalam berpuiisi itu bisa dilakukan. Saya akan mengambil sampel puisi saya sendiri, “Tamu”, yang belum lama ini dipajang di sini. Pada awalnya “Tamu” disajikan dalam bentuk kuatrin sederhana. Belakangan saya merasa kurang sreg, dan iseng mencoba menuliskannya kembali dalam bentuk seperti di bawah ini.
T a m u
Sejumlah kata
Menunggumu di depan pintu
Malam ini
Mereka mengaku
Sudah datang dari jauh
Sengaja mencari alamatmu
Menyebrangi
Pantai dan benua
Luka-luka dan
Kenangan waktu
Mereka temukan
Juga akhirnya addresmu ini
Mereka mengeluh
Sudah letih
Kepingin segera saja ketemu
Melepas kangen
Sebelum lalu istirah
Abadi
Di antara baris-barismu
Setelah dibongkar, saya merasa “Tamu” menjadi agak mendingan dibanding sebelumnya, setidaknya memberi saya “rasa lain” sewaktu membacanya. Entah apakah anda sependapat atau tidak.
Tapi yang mau dikatakan di sini adalah bahwa, aspek “teknis” – dalam konteks ini masalah tipografi -- memang kadang bisa diminta membantu memaksimalkan daya gedor sebuah puisi. Aspek “teknis” bisa saja mengalahkan aspek “idealistis” – atau isi/tema – yang diusung sebuah sajak. Karena, bukankah, masalah penciptaan adalah lebih pada masalah “bagaimana”nya dan bukan pada “apa”nya.
Tentang klausul mendasar ini, adakah kita pun sependapat?
No comments:
Post a Comment