https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

09 February 2007

Pengrajin dan Pemburu

JOKPIN mengaku selalu mengantongi buku catatan kecil ke mana saja ia pergi. Buku kecil itu berfungsi sebagai semacam tustel yang digunakannya untuk “memotret” apa saja yang ia lihat atau melintas di benaknya, hal-hal yang siapa tahu bisa menjadi embrio sebuah puisi. Finishing touchnya biasanya dikerjakannya malam hari. Atmosfir malam memang sering dimanfaatkan banyak penyair untuk menulis. Mungkin juga banyak puisi bagus dan “besar” yang sudah ditulis malam hari selama ini?

Ia memiliki sejumlah folder di komputernya yang menyimpan tema-tema yang sudah berhasil dijepret dan dikumpulkannya dalam buku kecil itu. Seperti seorang fotografer dalam bilik fotonya, dengan telaten ia mulai mencoba menggarap tema-tema itu menjadi puisi. Kalau macet di tema yang satu, ia pun dengan santai akan beralih ke tema lainnya, dan begitu seterusnya. Dan kalau misalnya malam itu ia gagal merampungkannya, ia pun akan mencoba di malam berikutnya.

Cara kerja menyair seperti diperagakan Jokpin itu barangkali bolehlah kita sebut sebagai gaya penyair “pengrajin”.

Tapi ada penyair yang tidak begitu telaten berlama-lama mengutak-atik bahan untuk puisinya. Marilah kita sepakat menyebut ia ini tipe penyair “pemburu”. Kalau “ruh” puisi itu tidak kunjung bisa dipanggilnya ia cenderung akan meninggalkan obyek yang sudah mulai mendingin itu, mungkin seraya mencoba melupakannya. Penyair semacam ini lebih menyukai tubuh imaji yang masih hangat, dengan darah kata menetes-netes pada ujung jemarinya.

Jika penyair “pengrajin” selalu punya stok bahan yang bisa dijadikan puisi, maka penyair “pemburu” tidak selalu punya stok. Kadang sampai berbulan-bulan ia “nganggur”, luntang-lantung tanpa tahu apakah masih bisa terus menulis puisi lagi atau tidak. Tapi sekali impuls puitikya bisa dibangunkan biasanya ia akan mengejar “korban”nya sampai mungkin berhari-hari, atau berminggu-minggu, bahkan mungkin saja berbulan-bulan

Selama masa-masa itu ia seperti, dalam kata-kata Sitor Situmorang, hanyut dalam arus ilham. Suasana batin yang mirip trance, yang membuatnya seperti linglung, tapi tanpa kehilangan kesadaran sosialnya samasekali. Pada saat itu ia berada dalam kepekaan puitik yang begitu tinggi, sehingga seperti dalam dongeng raja Midas, apa pun yang disentuhnya saat itu dengan mudah menjelma puisi. Bacalah lebih rinci perihal ini dalam Sitor Situmorang : Usaha Rekonstruksi yang Dirundung Ragu (Proses Sajak) – dimuat sebagai lampiran pada antologi Bunga Di atas Batu (Gramedia 1989).

Jadi ada dua gaya, gaya “pengrajin”, satunya lagi gaya “pemburu”. Anda, menganut gaya yang mana?

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...