SEORANG kawan suatu kali berujar bahwa “puisi bisa jatuh dari langit”, tapi penyair, “tidak”. Maksud si teman itu kiranya cukup jelas : menjadi penyair itu bukan pekerjaan instan, ia butuh waktu, kerja keras, dan konon juga “bakat”, atau barangkali lebih tepat “kenekatan”. Baiklah, soal itu mungkin bisa agak mudah kita sepakati.
Tapi, betulkah kalau dikatakan puisi bisa sekonyong tercipta, begitu saja “jatuh dari langit”, seakan tidak ada ancang-ancang yang perlu mendahuluinya? Subagio Sastrowardoyo pernah menggambarkan seorang penyair seperti seorang pencuri yang tersesat masuk ke dalam gua penuh harta yang harus berburu dengan waktu sebelum sang penjaga gua itu keburu datang memergokinya
Meskipun penggambaran itu mengandaikan kerja menulis puisi sebuah kerja yang harus diselesaikan “secepat kilat” dan dalam ketergesaan, rasanya bukan maksud Subagio mau mengatakan bahwa sebuah puisi bisa sekonyong-konyong tercipta. Mesti ada sebuah proses yang mendahuluinya. Ada embrio—berupa mungkin sebuah pengalaman di masa lampau, misalnya--yang bersiap menanti saatnya menetas menjadi puisi.
Tidak karena melihat “apel jatuh” lantas tuan Newton mendadak menemukan teori gravitasi, bukan? Momen “apel jatuh” itu “hanya” berfungsi sebagai pemantik yang menggolkan teori itu. Sebelum sampai pada “point of no return” itu ada serangkaian proses panjang--yang keras, sunyi, melelahkan--yang mendahuluinya.
Dan begitulah juga sebuah puisi kiranya tercipta. Puisi yang kemudian berhasil ditulis itu hakikatnya hanya sebuah “titik” dari sebuah garis panjang tak terukur. Nah, tugas mahluk yang menyebut diri penyair adalah menjaga agar “garis panjang” itu jangan sampai terputus, seraya terus mencoba menciptakan momen-momen “apel jatuh” pada garis panjang itu.
Tapi, betulkah kalau dikatakan puisi bisa sekonyong tercipta, begitu saja “jatuh dari langit”, seakan tidak ada ancang-ancang yang perlu mendahuluinya? Subagio Sastrowardoyo pernah menggambarkan seorang penyair seperti seorang pencuri yang tersesat masuk ke dalam gua penuh harta yang harus berburu dengan waktu sebelum sang penjaga gua itu keburu datang memergokinya
Meskipun penggambaran itu mengandaikan kerja menulis puisi sebuah kerja yang harus diselesaikan “secepat kilat” dan dalam ketergesaan, rasanya bukan maksud Subagio mau mengatakan bahwa sebuah puisi bisa sekonyong-konyong tercipta. Mesti ada sebuah proses yang mendahuluinya. Ada embrio—berupa mungkin sebuah pengalaman di masa lampau, misalnya--yang bersiap menanti saatnya menetas menjadi puisi.
Tidak karena melihat “apel jatuh” lantas tuan Newton mendadak menemukan teori gravitasi, bukan? Momen “apel jatuh” itu “hanya” berfungsi sebagai pemantik yang menggolkan teori itu. Sebelum sampai pada “point of no return” itu ada serangkaian proses panjang--yang keras, sunyi, melelahkan--yang mendahuluinya.
Dan begitulah juga sebuah puisi kiranya tercipta. Puisi yang kemudian berhasil ditulis itu hakikatnya hanya sebuah “titik” dari sebuah garis panjang tak terukur. Nah, tugas mahluk yang menyebut diri penyair adalah menjaga agar “garis panjang” itu jangan sampai terputus, seraya terus mencoba menciptakan momen-momen “apel jatuh” pada garis panjang itu.
3 comments:
Hi Bung Ook,
Benar sekali apa yang Bung kemukakan bahwa proses karya seorang penyair ada kesamaan dengan teori Newton. Aku juga merasakan hal demikian, ketika aku sering nulis puisi pada masa SMA dan kuliah.
Salah satu sahabatku di Indonesia masih aktif nulis puisi. Ia dipanggil Yo. Yo sudah menghasilkan satu buku. Ini blog-nya http://www.blue4gie.com/. Siapa tahu Bung Ook dan Yo bisa berteman. Atau memang sudah saling kenal?
Hai bung Beni, aku dan Yo memang sudah saling kenal meski belum sempat copy darat, trims ya udah singgah dan komen. Salam.
Great blog, keep the good work going :)
Post a Comment