https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

25 May 2007

Rambut Gondrong Arswendo Atmowiloto

SEORANG penulis harus menjaga stamina menulisnya kalau dia kepingin umur kreatifnya awet--itulah “aksioma” yang sudah pasti kita amini. Masalahnya bagaimana cara menjaga stamina itu supaya tidak kendor, bukan? Suplemen apa yang sebaiknya dikonsumsi, sesajen atau ritual apa pula yang sebaiknya dilakoni supaya segala urusan berjalan lancar? Arswendo Atmowiloto sepertinya punya jawabannya.

Di awal-awal karir menulisnya dulu ia gemar menggondrongkan rambutnya—sekarang masih gondrong juga sih--dan memakai baju kembang-kembang. Ia juga suka keluyuran ke banyak tempat dan kota untuk menjaring ide dan bahan tulisan, sampai suatu kali gara-gara itu pernah ia kehabisan duit dan kagak bisa pulang. Kebiasaan favoritnya yang lain adalah datang sowan ke nama-nama pengarang yang sudah dianggap “eksis”.

Menggondrongkan rambut dan memakai baju kembang-kembang itu mungkin luapan ekspresi rasa bangganya pada statusnya sebagai penulis. Memang tanpa rasa “bangga”, tanpa merasa “beda” dengan yang lain, bagaimana seorang penulis bisa bersaing dengan seorang direktur atau juragan kain umpamanya? Seorang penulis harus menanamkan ke dalam dirinya keyakinan bahwa apa yang dihasilkannya—walaupun hanya sepotong cerpen atau puisi, katakanlah—sekali-kali tidak mesti kalah pamor dengan produk yang berasal dari profesi terhormat lainnya.

Sedang ritual “keluyuran” itu diperlukan karena seorang penulis butuh kondisi dan suasana yang fresh agar ia selalu memperoleh amunisi yang segar untuk bahan tulisannya. Rutinitas atau suasana hidup yang monoton adalah “kanker” ganas yang bisa diam-diam “membunuh” seorang penulis. Jadi supaya tidak tergerus virus bernama “rutinitas” itu sering-seringlah “ngeluyur”, keluar dari zona aman untuk mencari suasana dan lanskap yang baru.

Lalu.rajin sowan ke pengarang yang sudah “jadi” jelas memang diperlukan untuk menyerap “bahan” lebih banyak lagi. Berkesempatan ngobrol dengan seorang penulis kenamaan niscaya merupakan momen yang sangat inspiratif. Meskipun pada akhirnya karyalah yang menjadi tolok ukur kebesaran seorang pengarang, tidak ada ruginya samasekali datang sowan pada seorang penulis besar, meskipun kita hanya berkesempatan menungguinya tidur atau mengetik, seperti pernah dilakoni Arswendo dulu pada sastrawan Motinggo Busye.

1 comment:

Maya Novarini said...

kalo gitu boleh sowan ke tempat bung wendo kah?
aku penulis juga..lagi ilfeel juga nih dgn writer's block disease.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...