GOSIP memang bukan monopoli kelompok seleb tertentu saja. Kelompok yang menyebut dirinya sastrawan pun ternyata meminatinya. Bedanya, kalau gosip di kalangan seleb biasanya muncul dalam beragam gaya dan tema, maka gosip di kubu sastrawan, tema dan gayanya dari dulu itu ke itu saja. Polanya selalu berulang. Ini agak menyedihkan tentu, karena untuk sekedar bergosip pun sastrawan kita sepertinya miskin kreasi.
Kalau hari-hari ini Komunitas Utan Kayu (selanjutnya KUK) atau Teater Utan Kayu (seterusnya TUK) kebanjiran caci-maki dari sekelompok sastrawan yang terang-terangan menyebut diri sebagai“Anti KUK”, maka ingatlah bahwa itu semua hanya pengulangan dari cerita lama.
Kalau sekarang yang jadi sasaran tembak adalah KUK, maka dulu kelompok yang kebagian hujat an itu bernama Majalah Sastra Horison, dan TIM dengan Dewan Kesenian Jakartanya. Inti ceritanya pun masih sama. Ada sejumlah nama yang merasa “tidak puas” pada kelompok sastrawan lain yang mereka tuduh sudah berlaku “tidak adil” karena hanya mengakomodir karya-karya penulis yang dianggap senafas ideologinya.
Dasar keberatan seperti ini sungguh mengherankan—dan terasa kekanakan. Sebab bukankah wajar dan sah saja apabila seorang redaktur, atau sebuah tim redaksi, atau sebuah kelompok seni, menetapkan sebuah standar nilai baginya dan dengan konsisten lalu membentenginya dari segala “rongrongan” nilai lain yang tidak sepaham—sebagaimana kelompok “Anti KUK” pun dengan ngotot melakoninya? Artinya wajar dan sah saja kalau Jurnal Kalam, umpamanya, menerapkan aturan yang berbeda dengan Majalah Horison, sebagaimana Majalah Bobo pun berbeda hembus auranya dengan majalah Mombi, dan seterusnya.
Dengan logika seterang benderang begini maka “sastra gosip” sebetulnya tak perlu ada. Kecuali bagi mereka yang merasa betul-betul sudah mentok berkarya, lantas mereka yakin bahwa sejumlah manuver “aneh” karenanya perlu dilakukan guna memaksa orang banyak berpaling padanya. Adakah kelompok “Anti KUK” termasuk kategori sastrawan seperti ini?
Mohon dicatat, sejumlah nama yang dulu pernah terlibat dalam Pengadilan Puisi 1977—sebuah manuver “aneh” yang dilakukan untuk menggoyang Majalah Horison—akhirnya dikenal bukan karena peristiwa Pengadilan Puisinya sendiri, tapi karena karya-karya mereka memang terbukti layak dikenang. Mereka itu antara lain Sutarji Calzoum Bachri, Abdul hadi WM, Darmanto Yatman, Sides Sudyarto DS, dan sejumlah nama beken lainnya.
Kini baiklah kita menunggu, adakah kelompok sastrawan “Anti KUK” akan bisa meninggalkan juga jejak-jejak karya yang memang layak dikenang—di luar aksi-aksi non literer mereka yang memang musti dikatakan jauh dari kaidah estetika—dan etika--itu.
Kalau hari-hari ini Komunitas Utan Kayu (selanjutnya KUK) atau Teater Utan Kayu (seterusnya TUK) kebanjiran caci-maki dari sekelompok sastrawan yang terang-terangan menyebut diri sebagai“Anti KUK”, maka ingatlah bahwa itu semua hanya pengulangan dari cerita lama.
Kalau sekarang yang jadi sasaran tembak adalah KUK, maka dulu kelompok yang kebagian hujat an itu bernama Majalah Sastra Horison, dan TIM dengan Dewan Kesenian Jakartanya. Inti ceritanya pun masih sama. Ada sejumlah nama yang merasa “tidak puas” pada kelompok sastrawan lain yang mereka tuduh sudah berlaku “tidak adil” karena hanya mengakomodir karya-karya penulis yang dianggap senafas ideologinya.
Dasar keberatan seperti ini sungguh mengherankan—dan terasa kekanakan. Sebab bukankah wajar dan sah saja apabila seorang redaktur, atau sebuah tim redaksi, atau sebuah kelompok seni, menetapkan sebuah standar nilai baginya dan dengan konsisten lalu membentenginya dari segala “rongrongan” nilai lain yang tidak sepaham—sebagaimana kelompok “Anti KUK” pun dengan ngotot melakoninya? Artinya wajar dan sah saja kalau Jurnal Kalam, umpamanya, menerapkan aturan yang berbeda dengan Majalah Horison, sebagaimana Majalah Bobo pun berbeda hembus auranya dengan majalah Mombi, dan seterusnya.
Dengan logika seterang benderang begini maka “sastra gosip” sebetulnya tak perlu ada. Kecuali bagi mereka yang merasa betul-betul sudah mentok berkarya, lantas mereka yakin bahwa sejumlah manuver “aneh” karenanya perlu dilakukan guna memaksa orang banyak berpaling padanya. Adakah kelompok “Anti KUK” termasuk kategori sastrawan seperti ini?
Mohon dicatat, sejumlah nama yang dulu pernah terlibat dalam Pengadilan Puisi 1977—sebuah manuver “aneh” yang dilakukan untuk menggoyang Majalah Horison—akhirnya dikenal bukan karena peristiwa Pengadilan Puisinya sendiri, tapi karena karya-karya mereka memang terbukti layak dikenang. Mereka itu antara lain Sutarji Calzoum Bachri, Abdul hadi WM, Darmanto Yatman, Sides Sudyarto DS, dan sejumlah nama beken lainnya.
Kini baiklah kita menunggu, adakah kelompok sastrawan “Anti KUK” akan bisa meninggalkan juga jejak-jejak karya yang memang layak dikenang—di luar aksi-aksi non literer mereka yang memang musti dikatakan jauh dari kaidah estetika—dan etika--itu.
3 comments:
ini Saut Situmorang.
saya gak suka dengan nada tulisan anda yang berat sebelah ke TUK, dan lalu dimanipulasi si tukang hasut intenet radityo itu ke mana-mana.
pertanyaan saya: apa rupanya yang udah anda tinggalkan dalam sastra indonesia yang memang layak untuk dikenang?
tulisan andalah yang sastra gosip! kami menyerang TUK kerna ada alasan objektif! dan alasan itu sudha berkali-kali saya terbitkan lewat esei-esei saya. saya sendiri tidak mau menjilat TUK cuma buat dikasih giliran arisan baca puisi di tempatnya yang bau itu!
soal puisi anda?
saya lebih baik gak jadi penyair kalok hasilnya cuman begitu!!!
terimakasih.
-Saut Situmorang
Hai bung Saut, senang anda mau mampir ke sini.
Begini, dari masa awal nulis dulu(1980), saya mempercayakan sepenuhnya nasib saya pada puisi2 saya yang "cuman begitu itu". Saya nyaris tak punya kenalan, apalagi jaringan atau apalah namanya yang gemar bikin berisik itu. Oh, saya memang kurang begitu suka rame-rame dan bergerombol. Jadi kalau sampai muncul anggapan bahwa saya sejenis "penjilat", kasihan sekali si penuduh itu.
Yang lain2nya marilah kita biarkan waktu yang nanti menghakimi. Ok?
Salam
Ook Nugroho.
saya feni efendi, merasa aneh dengan kesastraan indonesia. terlalu kekanak-kanakan. bagaimana orang luar melihat ini?
www.areapanas.blogspot.com
Post a Comment