BANYAK penyair dan “calon penyair” memandang penting keberadaan sebuah panggung baca puisi. Mereka menganggap kesempatan membaca puisi di sebuah panggung yang “bergengsi” sebagai bagian dari “ritual wajib” untuk bisa dibaptis menjadi sastrawan. Kalau tak kunjung dapat undangan, sebagian dari mereka ada yang lalu membikin panggung baca puisi sendiri. Tujuannya jelas. Forum “tak resmi” itu diharapkan bisa membantu “lebih menghadirkan” keberadaan penyairnya.
Karena persepsi seperti itulah lantas sering terjadi hal-hal lucu. Begitulah pada zaman dahulu kala berkembang anggapan “keramat” bahwa seorang penyair belum sah disebut penyair kalau belum pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta, untuk membaca puisi di TIM. Sekarang agaknya berkembang penilaian yang mirip itu terhadap Teater Utan Kayu (TUK).
Yang lucu, dari masa ke masa selalu saja muncul “barisan sakit hati” yang merasa diperlakukan “tidak adil”--tidak kunjung mendapat undangan padahal sudah merasa menjadi penyair yang “hebat”. Dari ketidakpuasan seperti itulah lalu lahir “genre” sastra gosip dan sastra caci-maki. Tapi, betul “maha pentingkah” keberadaan sebuah panggung baca puisi bagi seorang penyair?
Bulan ini (9 November 2007) TUK sebetulnya mengundang saya untuk membaca puisi, bersama sejumlah nama lain. Sungguh saya sangat menaruh respek pada undangan itu, tapi karena sebuah alasan yang sangat sekali pribadi, terpaksa saya menolak undangan yang mungkin banyak dinanti penyair lain itu. Pihak TUK, yang diwakili Sitok Srengenge, untunglah bisa menerima penolakan saya, sehingga di antara kami tidak mesti terjadi “pertumpahan kata”. Tempat saya rupanya lalu digantikan oleh S Yoga, seorang penyair potensial dari Nganjuk.
Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah, bahwa ketika memutuskan menolak undangan baca puisi itu, perasaan saya biasa saja. Artinya, saya tidak merasa sudah membuang sebuah peluang emas yang karenanya bakal merongrong keberadaan saya selaku penulis.
Kesempatan membaca puisi di TUK—jika kesempatan itu saya terima—pastilah akan membantu lebih mengenalkan karya saya ke publik yang (mungkin) lebih luas. Barangkali juga lewat forum itu bakal muncul celah atau peluang menerbitkan buku. Dilihat dari sini, mungkin memang ada sejumlah kesempatan yang sudah saya “sia-siakan”. Tapi saya kira, segalanya akhirnya terpulang pada saya juga.
Artinya, awet atau tidaknya kepenyairan saya itu, akhirnya sangat tergantung pada talenta dan kegigihan saya memperjuangkannya. Saya harus bertarung sendirian di sana, di batas angan dan pengalaman itu. Di sana, anda semua pun paham, tak ada yang bakal bisa membantu saya, atau sebaliknya menjegal saya. Tidak TUK. Tidak juga Saut Situmorang.
Karena persepsi seperti itulah lantas sering terjadi hal-hal lucu. Begitulah pada zaman dahulu kala berkembang anggapan “keramat” bahwa seorang penyair belum sah disebut penyair kalau belum pernah diundang Dewan Kesenian Jakarta, untuk membaca puisi di TIM. Sekarang agaknya berkembang penilaian yang mirip itu terhadap Teater Utan Kayu (TUK).
Yang lucu, dari masa ke masa selalu saja muncul “barisan sakit hati” yang merasa diperlakukan “tidak adil”--tidak kunjung mendapat undangan padahal sudah merasa menjadi penyair yang “hebat”. Dari ketidakpuasan seperti itulah lalu lahir “genre” sastra gosip dan sastra caci-maki. Tapi, betul “maha pentingkah” keberadaan sebuah panggung baca puisi bagi seorang penyair?
Bulan ini (9 November 2007) TUK sebetulnya mengundang saya untuk membaca puisi, bersama sejumlah nama lain. Sungguh saya sangat menaruh respek pada undangan itu, tapi karena sebuah alasan yang sangat sekali pribadi, terpaksa saya menolak undangan yang mungkin banyak dinanti penyair lain itu. Pihak TUK, yang diwakili Sitok Srengenge, untunglah bisa menerima penolakan saya, sehingga di antara kami tidak mesti terjadi “pertumpahan kata”. Tempat saya rupanya lalu digantikan oleh S Yoga, seorang penyair potensial dari Nganjuk.
Yang ingin saya garis bawahi di sini adalah, bahwa ketika memutuskan menolak undangan baca puisi itu, perasaan saya biasa saja. Artinya, saya tidak merasa sudah membuang sebuah peluang emas yang karenanya bakal merongrong keberadaan saya selaku penulis.
Kesempatan membaca puisi di TUK—jika kesempatan itu saya terima—pastilah akan membantu lebih mengenalkan karya saya ke publik yang (mungkin) lebih luas. Barangkali juga lewat forum itu bakal muncul celah atau peluang menerbitkan buku. Dilihat dari sini, mungkin memang ada sejumlah kesempatan yang sudah saya “sia-siakan”. Tapi saya kira, segalanya akhirnya terpulang pada saya juga.
Artinya, awet atau tidaknya kepenyairan saya itu, akhirnya sangat tergantung pada talenta dan kegigihan saya memperjuangkannya. Saya harus bertarung sendirian di sana, di batas angan dan pengalaman itu. Di sana, anda semua pun paham, tak ada yang bakal bisa membantu saya, atau sebaliknya menjegal saya. Tidak TUK. Tidak juga Saut Situmorang.
4 comments:
saya tertarik akan kebijaksanaan ook. mampu berdiri di antara dua dinding. salam
Tapi saya kecewa, Pakde Ook. Pengganti Pakde gak begitu bagus baca sajaknya. Meskipun dia hafal setiap sajaknya. Lagian saya pengin lihat Pakde Ook bersajak gitu ...
Salam,
dtr
Wah kang Dedy, kalo saya yang tampil dijamin bakal lebih ancur lagi ...
Tapi begini saja, marilah kita kembali pada puisi. Penyair bisa nyebelin, tapi puisi tidak.
Salam
tak perlu kecewa begitu berat, pasti ada sesuatu yang gemilang yang lebih dari itu nantinya...berjiwa besar saja,salam.
Post a Comment