MARILAH kita ulangi lagi statemen ini : puisi bisa jatuh dari langit, tapi penyair tidak. Proses penciptaan kadang seolah terjadi sekonyong-konyong, meskipun sebetulnya tidak demikian. Apa yang kemudian menetas menjadi puisi sesungguhnya hanya sebuah titik dari sebuah garis panjang, yang disebut proses penciptaan itu sendiri. Ia hanya sebuah perhentian sejenak, atau kesimpulan sebentar, dari pergulatan kreatif yang belum lagi tamat.
Jika puisi bisa sekonyong jatuh dari awan gemawan, maka seorang penyair selamanya lahir lewat serangkaian proses belajar. Dan salah satu cara paling gampang dalam belajar adalah dengan meniru dari para pendahulu. Pada tahap ini wajar kalau kemudian pengaruh dari yang ditiru merembes, bahkan lalu membuat kita sampai basah kuyup. Celakanya, tidak semua kita punya kemampuan (atau kemauan) untuk berhenti menjadi “pak tiru”.
Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad adalah dua nama besar yang agaknya paling banyak mendapatkan “siswa” di sekolah-sekolah puisi kita. Saya sendiri heran mengapa gerangan pilihan jatuh pada dua beliau ini—mengapa tidak Amir Hamzah, Chairil, Sitor, Toto Sudarto, Subagio, Rendra, Taufiq, atau Tarji, misalnya. Apa kurang hebatnya Rendra, umpamanya, atau Tarji, dibanding Goenawan dan Sapardi?
Saya tak punya jawab pasti atas pertanyaan itu, meskipun kata beberapa teman, sajak-sajak saya juga sangat sekali “sapardian”. Paling saya hanya bisa bilang, gaya Sapardi itu kayaknya klop dan “nyambung” dengan mekanisme kerja perabot puitik saya. Hanya itu? Ya, mungkin juga lantaran referensi puitikal saya teramat miskinnya, jadi tahunya cuma jurus “estetika gerimis jatuh” punyanya Sapardi itu.
Tapi kini tren “sapardian” sepertinya sudah mulai bisa diterabas. Bukan oleh saya—saya sih masih harus terus berkelahi sengit mengenyahkan “hantu” Sapardi dalam kerja puisi saya. Tapi oleh nama-nama “baru” seperti Afrizal Malna, Zen Hae, Gus tf, Binhad Nurohmad, Nirwan Dewanto, Jimmy Maruli Alfian, dan mungkin masih ada sejumlah nama lagi yang luput dari amatan.
Sungguh, saya sangat berharap masih akan bisa menikmati kehadiran puisi-puisi mereka lebih kerap dan lebih lama lagi.
Jika puisi bisa sekonyong jatuh dari awan gemawan, maka seorang penyair selamanya lahir lewat serangkaian proses belajar. Dan salah satu cara paling gampang dalam belajar adalah dengan meniru dari para pendahulu. Pada tahap ini wajar kalau kemudian pengaruh dari yang ditiru merembes, bahkan lalu membuat kita sampai basah kuyup. Celakanya, tidak semua kita punya kemampuan (atau kemauan) untuk berhenti menjadi “pak tiru”.
Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad adalah dua nama besar yang agaknya paling banyak mendapatkan “siswa” di sekolah-sekolah puisi kita. Saya sendiri heran mengapa gerangan pilihan jatuh pada dua beliau ini—mengapa tidak Amir Hamzah, Chairil, Sitor, Toto Sudarto, Subagio, Rendra, Taufiq, atau Tarji, misalnya. Apa kurang hebatnya Rendra, umpamanya, atau Tarji, dibanding Goenawan dan Sapardi?
Saya tak punya jawab pasti atas pertanyaan itu, meskipun kata beberapa teman, sajak-sajak saya juga sangat sekali “sapardian”. Paling saya hanya bisa bilang, gaya Sapardi itu kayaknya klop dan “nyambung” dengan mekanisme kerja perabot puitik saya. Hanya itu? Ya, mungkin juga lantaran referensi puitikal saya teramat miskinnya, jadi tahunya cuma jurus “estetika gerimis jatuh” punyanya Sapardi itu.
Tapi kini tren “sapardian” sepertinya sudah mulai bisa diterabas. Bukan oleh saya—saya sih masih harus terus berkelahi sengit mengenyahkan “hantu” Sapardi dalam kerja puisi saya. Tapi oleh nama-nama “baru” seperti Afrizal Malna, Zen Hae, Gus tf, Binhad Nurohmad, Nirwan Dewanto, Jimmy Maruli Alfian, dan mungkin masih ada sejumlah nama lagi yang luput dari amatan.
Sungguh, saya sangat berharap masih akan bisa menikmati kehadiran puisi-puisi mereka lebih kerap dan lebih lama lagi.
1 comment:
hmmm, sepertinya kecemasan saya juga dialami oleh mas ook. di mana ketika saya belajar melenyapkan bayang-bayang jokpin, eh tahu-tahunya puisi saya persis dengan puisi mas ook. kenapa ya? padahal saya belum pernah membaca puisi mas ook, sebelumnya.
feni efendi
Post a Comment