SALAH satu hal yang menarik perhatian saya dalam membaca cerita silat Cina adalah kehadiran mereka yang baiklah saya sebut saja “orang pandai yang bersembunyi”. Mereka bukanlah tokoh utama dalam cerita, tapi kemunculannya—yang juga tidak kerap, kadang bahkan hanya muncul sekali saja--sering menentukan, dan bagi saya sebagai pembaca, selalu terasa “mengilhami”. Sering malah kehadiran mereka lebih membetot perhatian saya ketimbang tokoh utamanya sendiri.
Dalam prolog dari Kisah Membunuh Naga (Ie Thien To Liong) versi OKT diceritakan tentang seorang rahib lugu bernama Kak Wan Taysu, yang sebetulnya sudah muncul dalam penghujung cerita Rajawali Sakti dan Pasangan Pendekar atawa Sin Tiau Hip Lu. Kak Wan adalah “paderi bodoh” yang bekerja di perpustakaan biara Siauw Liem. Tugasnya sehari-hari adalah menjaga keamanan dan kebersihan ribuan kitab di perpustakaan itu. Ia sendiri diceritakan tak mengerti ilmu silat, dan memang begitulah adanya.
Syahdan, suatu ketika dalam keasyikannya membersihkan kitab, secara tak sengaja ia menemukan sejilid kitab tipis yang berisi pelajaran ilmu silat dahsyat yang secara ajaib luput dari perhatian para penghuni Siauw Liem lainnya. Meskipun “tolol” ia toh mengerti kitab itu sebuah mustika yang tiada taranya sebab ditulis langsung oleh Bodidharma, tokoh yang konon adalah peletak dasar silat Siauw Liem.
Begitulah diam-diam tanpa sepengetahuan siapa pun rahib “bodoh” itu meyakinkan ilmu dalam kitab tipis itu, dan tanpa ada yang tahu ia kemudian mengalami metamorfosis dari seorang yang tak paham ilmu silat menjadi seorang sakti yang tersembunyi. Tersembunyi,karena ia, setelah jadi hebat tak tertarik untuk gembar-gembor, melainkan terus tinggal di perpustakaan merawat ribuan kitab yang jadi tanggung jawabnya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari tokoh seperti Kak Wan ini--“orang pandai yang bersembunyi”—pasti juga ada. Mereka tak begitu hirau dengan segala ingar bingar publisitas semu. Mereka lebih memilih tinggal di sudutnya, dalam kesendirian dan kesepian, seraya terus mendalami dan meyakinkan bidang yang menjadi pilihannya. Saya membayangkan, ia mungkin saja seorang penyair jenius yang lebih memilih menyimpan saja puisi-puisinya (dan pikiran-pikirannya) dalam laci—kita pasti teringat Emily Dickinson ….
Pertanyaannya kini, salahkah pilihan “bersembunyi” yang mereka ambil? Kak Wan dalam Kisah Membunuh Naga, lantaran terpaksa sekali, akhirnya muncul ke gelanggang, mengobrak-abrik musuh dan sekaligus membuka mata banyak orang. Ia pun kemudian, menurut sang empunya cerita konon, menjadi inspirator bagi lahirnya silat Wudang dan ilmu pedang Gunung Emei.
No comments:
Post a Comment