MEMPERCAYAKAN penilaian atas puisi kepada para “juri anonim”—seperti dilakukan Pena Kencana —sungguh mengandung resiko. Belum mapannya kehidupan sastra di sini menjadi alasan kuat untuk skeptis. Saya pernah menyebut manuver Pena Kencana ini sebagai sebuah “eksperimen yang berani” (atau kepagian?), yang biarpun hasilnya bisa saja konyol, tapi tetap saja menarik ditunggu.
Seraya mengingat bahwa siapa pun yang kemudian muncul sebagai pemenang dalam kontes seperti itu bolehlah dipandang sebagai seorang yang “benar sedang mujur”. Kemenangannya bukan kemenangan artistik, sebab sesungguhnya tak ada peristiwa literer di sana. Yang terjadi adalah sebuah kegiatan yang berlangsung “untung-untungan”, yang melibatkan sejumlah orang yang tak jelas siapa saja, serta tak jelas juga mereka sudah memilih puisi siapa.
Maka bagaimana kemudian sang pemenang musti bersikap menghadapi hal ini? Saya tanyakan itu kepada Jimmy Maruli Alfian, yang memenangkan kontes ini untuk kategori puisi. Saya tanyakan juga apakah ia mempunyai usulan untuk perbaikan supaya award ini tidak lalu berkembang menjadi sekadar sasaran sinisme belaka. Saya pikir menarik sekali menguping apa komentarnya. Kebetulan kemudian memang ada sedikit “ribut-ribut” di blognya Hasan Aspahani tentang hasil kontes ini, maka saya pikir ini adalah kesempatan bagus bagi Jimmy untuk bicara.
Sayang sekali, Jimmy Maruli Alfian, penyair muda potensial--yang saya sukai puisinya, antara lain karena bahasa sajaknya yang lugas dan tidak bertele-tele--itu agaknya tak tertarik merespons pertanyaan saya, pun mengurusi “ribut-ribut” itu. Mungkinkah karena kemenangan ini sudah membikinnya menjadi “serba salah” dan “repot”? Tapi mengapa harus jadi merasa "bersalah" dan "repot"? Jimmy yang berhak menjawabnya.
Seraya mengingat bahwa siapa pun yang kemudian muncul sebagai pemenang dalam kontes seperti itu bolehlah dipandang sebagai seorang yang “benar sedang mujur”. Kemenangannya bukan kemenangan artistik, sebab sesungguhnya tak ada peristiwa literer di sana. Yang terjadi adalah sebuah kegiatan yang berlangsung “untung-untungan”, yang melibatkan sejumlah orang yang tak jelas siapa saja, serta tak jelas juga mereka sudah memilih puisi siapa.
Maka bagaimana kemudian sang pemenang musti bersikap menghadapi hal ini? Saya tanyakan itu kepada Jimmy Maruli Alfian, yang memenangkan kontes ini untuk kategori puisi. Saya tanyakan juga apakah ia mempunyai usulan untuk perbaikan supaya award ini tidak lalu berkembang menjadi sekadar sasaran sinisme belaka. Saya pikir menarik sekali menguping apa komentarnya. Kebetulan kemudian memang ada sedikit “ribut-ribut” di blognya Hasan Aspahani tentang hasil kontes ini, maka saya pikir ini adalah kesempatan bagus bagi Jimmy untuk bicara.
Sayang sekali, Jimmy Maruli Alfian, penyair muda potensial--yang saya sukai puisinya, antara lain karena bahasa sajaknya yang lugas dan tidak bertele-tele--itu agaknya tak tertarik merespons pertanyaan saya, pun mengurusi “ribut-ribut” itu. Mungkinkah karena kemenangan ini sudah membikinnya menjadi “serba salah” dan “repot”? Tapi mengapa harus jadi merasa "bersalah" dan "repot"? Jimmy yang berhak menjawabnya.
No comments:
Post a Comment