https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

29 January 2007

Jokpin Bilang Apa?

Suplemen Ruang Baca edisi Januari 2007 dari Koran Tempo menampilkan percakapan dengan Joko Pinurbo alias Jokpin, penyair yang kerap disebut-sebut sebagai sudah membawa angin segar dalam kehidupan puisi kita hari-hari ini. Mungkin sebagian dari Anda belum sempat membaca percakapan dengan Jokpin yang “penting dan perlu” itu. Dengan pertimbangan itulah saya memberanikan diri memuat (sebagian) dari percakapan itu di halaman ini. Semoga bermanfaat.

Sekarang Anda dipandang sudah mempunyai pengucapan sendiri yang berbeda dengan penyair-penyair sebelum Anda. Bagaimana proses pencariannya?

Saya sudah lebih dari 20 tahun menulis puisi. Artinya menulis secara serius. Saya pelajari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Sutarji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, dan sebagainya. Saya pelajari betul-betul sampai saya tahu ciri masing-masing penyair. Dengan begitu lebih mudah bagi saya untuk menghindari gaya pengucapan yang pernah mereka lakukan. Tapi ternyata dalam perjalanannya ya tetap sulit juga. Boleh dibilang baru pada tahun 1996 itulah ketika saya menggunakan ungkapan-ungkapan celana, saya merasa menemukan gaya yang selama ini saya cari-cari.

Jika Mei 1998 dijadikan salah satu tonggak sejarah Indonesia modern, adakah ciri-ciri signifikan yang membedakan puisi pra reformasi, dan puisi-puisi pasca-reformasi?

Menurut saya tidak ada perbedaan mendasar. Tidak terjadi semacam patahan dan gempa, misalnya, yang membuat keadaan benar-benar berubah. Perbedaannya, sekarang ini tampak semakin banyak orang keranjingan puisi. Juga ruang untuk publikasi dan sosialisasi puisi semakin luas dan beragam, baik melalui media cetak maupun media cyber. Namun situasi ini, sekali lagi, belum melahirkan terjadinya perubahan mendasar atau radikal dalam khazanah perpuisian Indonesia jika yang dimaksud adalah perubahan yang, katakanlah, bersifat ideologis.

Jika peristiwa sosial politik sebesar Peristiwa Mei 1998 yang mengakhiri dominasi rezim yang berkuasa puluhan tahun masih gagal menjadi inspirasi para penyair, lantas bagaimana Anda melihat pokok masalahnya?

Ada dua kemungkinan. Pertama, para pennyair tidak tegiur lagi oleh kepalsuan-kepalsuan dan kesemuan-kesemuan dalam dunia politik. Memang pernah pada masa awal-awal masa “reformasi” kita kebanjiran sajak-sajak “reformasi”, tapi sebagian besar segera menguap karena mutu sastranya tak seberapa kuat dan lebih banyak ditulis dalam suasana euforia semata. Kedua, mereka tidak lagi terpukau pada metanarasi atau narasi-narasi besar. Banyak di antara mereka yang berusaha menghidupkan daya puitik dengan menggali dan menjelajah hal-hal yang (tampak) kecil dan sederhana untuk menyentuh esensi yang lebih dalam dan kompleks.

Siapa saja tokoh-tokoh penyair yang menonjol pasca-reformasi, dan apa ciri utama karya mereka?

Saya belum ingin menggunakan paradigma ketokohan. Kita masih perlu waktu untuk melihat dan menguji bobot “ketokohan” para penyair kita. Namun saya gembira melihat penyair-penyair muda berbakat kelahiran tahun 1970-an dan 1980-an yang muncul dan tumbuh berkembang setelah “gerakan reformasi”. Mereka itu antara lain Hasan Aspahani, Inggit Putia Marga, Raudal Tanjung Banua, Wayan “jengki” Sunarta, Ricky Damparan Putra, Nur Zen Hae, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Binhad Nurohmat, Putu Vivi Lestari, Dina Oktaviani, Ira Komang Puspitaningsih, Aida Idris, S Yoga, TS Pinang, Nanang Suryadi, Urip Herdiman Kambali, Firman Venayaksa, Pranita Dewi, Aurelia Tiara. Itu yang sempat saya amati, di luar itu saya kira masih banyak nama-nama lain.

Ada pengamatan khusus?

Baru sekarang saya menyaksikan munculmya generasi penyair yang jumlah penyair perempuannya agak sebanding dengan jumlah penyair pria. Mereka itu anak-anak muda yang pintar dan cerdas, memiliki wawasan intelektual yang luas, mungkin karena dukungan teknologi informasi juga. Terus terang saya belum bisa merumuskan apa ciri utama karya mereka karena saya sendiri tengah menikmati mereka. Mungkin belum tampak ciri-ciri tertentu yang benar-benar dominan. Syukur jika malah beragam. Yang jelas, karya-karya mereka menunjukkan adanya upaya untuk menjelajahi sumber-sumber pinciptaan yang beraneka warna, mulai dari tradisi sampai budaya pop. Juga ada usaha untuk menjajaki berbagai kemungkinan bentuk atau cara pengucapan. Kalau mau bekerja lebih keras, saya kira mereka memiliki potenti hebat untuk memberikan sumbangan berarti bagi prekembangan dunia puisi Indonesia.

(Dikutip dari rubrik Percakapan pada Ruang Baca – suplemen Koran Tempo -- edisi Januari 2007).

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...