https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

19 January 2007

Oewiek Sanuri Emwe, Sejumput Kenangan

Nama Oewiek Sanuri Emwe hampir bisa saya pastikan tidak anda kenal. Maklumlah, yang bersangkutan memang hanya orang “biasa”, bukan tokoh penting atau orang besar. Lagi pula ia sudah marhum hampir seperempat abad yang lalu. Oewiek Sanuri Emwe semasa hidupnya dikenal sebagai penyair yang sebetulnya cukup diperhitungkan. Bahkan seorang Sutarji Calzoum Bachri pernah ikut juga menjagokannya. Sebagai penyair ketika itu ia berada satu “barisan” dengan nama-nama semisal Afrizal Malna, Kriapur (alm), Heru Emka, Beni Setia, dll. Sayang ia pergi begitu lekas.

Ia lahir di Jakarta, 1957. Pendidikan formalnya yang hanya SLA tak menghalanginya untuk berprestasi bagus di dunia sastra. Pada 1980 sebuah puisinya mendapatkan penghargaan dalam sebuah lomba di Semarang. Ia juga bergiat di teater, malah sempat pula mendapatkan penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam Festival Drama Islam di Jakarta. Ia sungguh-sungguh hidup mengandalkan honor tulisannya. Pernah juga membantu majalah sastra Horison. Hamsad Rangkuti, pemimpin redaksi Horison saat itu, menugasinya mengisi halaman Kronik Kebudayaan.

Kemiskinan dan penyakit adalah dua hal yang seolah melekat pada hidupnya. Kemiskinan memaksanya berhenti sekolah. Kemiskinan juga – barangkali ditambah gaya hidup “nyeniman” yang dijalaninya – menyebabkannya gampang jatuh sakit. Ia tak sempat menghadiri upacara pemakaman ibundanya karena ia sendiri saat itu terkapar di ranjang rumah sakit. Kejadian ini agaknya meninggalkan luka yang dalam padanya.

Saya sempat memjenguknya. Ia memohon supaya honor-honor tulisan saya di Berita Buana diserahkan kepadanya untuk membantu biaya pengobatannya. Dengan ringan hati saya sanggupi permintaannya itu. Hubungan kami memang sangat dekat. Saya bahkan hampir menganggapnya “abang” saya. Selasa, 3 September 1985, sore sepulang dari kantor, saya kembali ke rumah sakit dengan menenteng surat kuasa untuk pengambilan honor di Berita Buana itu.

Ketika sampai di ruangan tempat ia dirawat saya heran mendapati ranjang yang biasa ditidurinya sudah kosong. Saya masih tak menduga jelek saat itu. Saya mengira ia sekadar pindah kamar. Ternyata tidak. Oewiek Sanuri Emwe meninggal hari itu, pada pagi harinya. Ia dikuburkan hari itu juga dengan nama Ahmad Sanuri. Sejumlah seniman dan sahabat ikut mengantarnya. Ikranagara berpidato mewakili pihak Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) TIM, tempat almarhum banyak mendedikasikan waktu dan tenaga semasa hidupnya.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...