https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

07 January 2007

Mazhab Mbeling

PUISI MBELING sebagai “gerakan” kini tinggal sejarah. Tokoh-tokohnya pun sudah pada beranjak tua, dan tidak “badung” lagi. Sebagaimana diketahui gerakan ini “mewabah” sekitar 1971-1972 sebagai bentuk ketidakpuasan sejumlah penulis puisi terhadap apa yang mereka sebut “kemapanan” (baca : “kemacetan”) sekelompok sastrawan senior yang berkerumun di sekitar majalah sastra Horison, yang saat itu – suka tidak suka -- menjadi satu-satunya barometer pencapaian sastra kita.

Pemimpin “gerakan” ini, Remy Silado, kepada para “pengikutnya” menawarkan “resep” menulis puisi yang berbeda dengan “resep” yang dijajakan Horison saat itu. Dalam wawancara dengan sebuah radio swasta di Jakarta (sekitar 1978), ia menandaskan bahwa tempat puisi bukan di kepala, melainkan di kaki. Maksudnya mungkin, kerja menulis puisi, dan puisi itu sendiri, tidak usahlah sampai disembah-sembah atau dikeramat-keramatkan layaknya berhala.

Implementasinya dalam praksis penciptaan , para penyair mbeling hadir dengan satu ciri utama yang menonjol, yaitu kuatnya semangat bermain-main dalam puisi mereka. Maka kelakar, olok-olok, dan cemooh menjadi hal yang biasa bahkan mungkin “wajib” dalam puisi mbeling. Untuk sekadar menyegarkan ingatan berikut dikutipkan dua contoh puisi mbeling. Yang pertama ditulis Mahawan, sedang puisi kedua ditulis Remy Silado sendiri.


Teka-Teki

Saya ada dalam puisi
Saya ada dalam cerpen
Saya ada dalam novel
Saya ada dalam roman
Saya ada dalam kritik
Saya ada dalam esei
Saya ada dalam wc

Siapakah saya?
Jawab: HB Jassin


Teks atas Descartes

Orang Perancis berpikir
maka
mereka ada.

Orang Indonesia
tidak berpikir
namun terus ada.

Sekali lagi. puisi mbeling sebagai “gerakan”memang sudah “tinggal” sejarah, tapi spirit yang pernah mereka tularkan dulu kiranya belum lagi mati. Atau, sebaiknya janganlah sampai mati. Kita hendaknya, seperti para mbeling dulu, harus tidak bosan-bosannya bermain-main, berkelakar, mengolok-olok segala bentuk “kemapanan” (sekali lagi, baca : “kemacetan”) yang dipaksakan dari luar, ataupun yang dengan sengaja atau bukan, sadar atau tidak, kita kalungkan sendiri sebagai jerat – yang “nikmat” – di leher kita.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...