Justicia
Sepucuk pistol
moncongnya membidik
mulut bergula
(Katanya seekor musang tak
pernah jadi seekor ayam)
Korban tersungkur
dengan lidah terjulur
Catatan Pagi, Setelah Tiga Puluh Hari
1
Sebenarnya aku ingin segelas kopi, sepotong ubi dan
secercah senyum pagi ini
Engkau mematung, matumu tajam menyayat-nyayat
Mengingat benih yang baru kutanam malam kemarin,
aku buka pusaka tua berdarah keluar masuk toko,
Mesjid, Gereja, gedung-gedung mencari rezekiku yang
hilang dimakan waktu
2
Engkau tak berkata : ya atau tidak
tetap mematung seperti puteri kena tenung
3
Aku pulangkan engkau!
Tanah! Tanah! Tanah!
Simpanlah!
4
Ruang ini hampa udara
berputar pada empat dinding
membalikkan hari-hari lalu
Di sana, di tengah hutan sekelompok manusia dingin
menyiapkan tiang salib upacara bagi sang
pembunuh
Tentang Jakarta
Setelah Sodom dan Gomora
Kini Jakarta menyerahkan tubuhnya
untuk dikoyak-moyak dan
dibumihanguskan
Jangan menoleh
Jangan menoleh, adikku!
Kami Punya Satu Rembulan
Kami punya satu rembulan
dan satu matahari
Kadangkala mereka
mendongeng kepada kami
tentang sysypus atau ahasveros
hingga larut malam
diam-diam, tanpa sepengatahuan Ibuku
aku gigit rembulan itu
sementara matahari kutusuk ulu hatinya
dengan pisau pemberian Bapakku!
Siklus 0
Aku berdoa. Tergelincir jatuh. Menari. Dan berdoa lagi
-- menajamkan jejak-jejak di air
kembang-kembang yang taman merekuimkan dunia ajal
hidup dari matahari hujan siraman
- jalan bisu, jalan yang ditumbuhi lalat-lalat
mengerdipkan mata bangkai
dan tangan yang menjulur memotes tengkuk-tengkuknya
melempar jauh ke batas jalan asing --ialah laut diriMu
Aku berdoa. Tergelincir jatuh. Menari dan berdoa lagi
-- menajamkan jejak-jejak di air
(Dipetik dari kumpulan puisi Beri Aku Matahari, penerbit Puisi Indonesia 1985, editor Afrizal Malna)
No comments:
Post a Comment