https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

18 April 2007

In Memoriam "Celana"

KEJADIANNYA sudah seminggu yang lalu, tapi saya baru membacanya hari ini (Koran Tempo, 18 April 2007). Penyair Joko Pinurbo--akrab dengan sapaan Jokpin—menyampaikan niatnya untuk mencopot “celana” yang selama ini sudah menjadi “merek” puisinya. Antologi puisi Kepada Cium yang baru saja terbit disebutnya sebagai edisi pamungkas dari episode “celana” itu.

Bagi saya ini sebuah kabar “besar” sekaligus menggembirakan. Dalam sebuah catatan di halaman ini beberapa waktu lalu saya memberi catatan khusus perihal perlunya Jokpin keluar dari “zona amannya” guna menjelajah dan menemukan zona kreatif baru. Kalau tidak cepat atau lambat ia hanya akan tinggal kenangan.

Celana dan Jokpin memang sebuah fenomena menarik. Imaji “celana” di satu sisi dan nama Jokpin di pihak lain seperti tak bisa dipisahkan. Seperti imaji “hujan” serta merta mengingatkan kita pada penyair Sapardi Djoko Damono, atau “kapak” membawa kita pada sosok Sutarji Calzoum Bachri, begitulah halnya “celana” dan Jokpin.

Jokpin sudah berhasil mengangkat pamor “celana”, dari sebuah substansi yang fisikal dan remeh menjadi substansi lain yang rohaniah dan malahan sering juga filosofis. Sebaliknya “celana” telah pula mengganjar Jokpin dengan banyak penghargaan sastra bergengsi : SIH Award, KLA, untuk sekedar menyebut contoh. Sebuah kisah kasih yang indah.

Tapi untuk kepentingan yang lebih besar, kisah indah itu musti diakhiri sekarang. Siapa tahu dengan menanggalkan “celana” Jokpin malah akan membawa kita ke alamat-alamat baru, addres-addres rahasia yang lebih heboh lagi. Bagi Jokpin memang hanya tersedia 2 pilihan itu : tinggal tentram dalam “celana”—seraya mungkin mati pelan-pelan—atau mencopot itu “celana”, dan “tanpa celana” menempuh segala resiko yang menanti. Ah, celana …

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...