DI DALAM Perjanjian Lama kita menemukan kisah Kain dan Abel, dua anak pasangan Adam dan Hawa. Kain adalah seorang pemburu, sedang Abel seorang peladang. Dikisahkan suatu kali mereka memberikan sesembahan kepada Tuhan, tapi Tuhan menampik persembahan Kain, sebaliknya sesembahan Abel diterima.
Tindakan “diskriminatif” ini menyalakan kemarahan Kain, yang kemudian kita tahu berujung pada dibunuhnya Abel. Konon, inilah pembunuhan pertama di bumi, dosa kedua yang dibuat manusia setelah pelanggaran di Firdaus sebelumnya.
Motif Kain membantai saudaranya adalah rasa iri yang dipicu oleh tindakan “diskriminatif” Tuhan. Kitab Suci tidak secara jelas menceritakan mengapa Tuhan menolak sesembahan Kain. Bersalakah Kain sebetulnya? Saya menemukan penafsiran menarik perihal ini dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono yang menyebut pembunuhan purba itu sebagai “dendam pertama kemanusiaan” dari “manusia yang setia tapi tersisih” (baca “Dua Sajak Di Bawah Satu Nama”, kump. Puisi DukaMu Abadi).
Pembantaian Kain atas Abel menjadi pola yang terus berulang. Di satu sisi ada “Kain”, si “manusia yang setia tapi tersisih” itu, dan di seberang sana Abel, ia yang selalu beruntung, hidup riang dalam kelimpahan dan kesenangan di ruang-ruang yang terang dan berbau wangi. Kain melihat ada yang “tidak beres” dalam kehidupan Abel yang berkelimpahan itu. Lalu muncullah kemudian kemarahan, dan niat “membereskan” yang “tidak beres” itu.
Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan, yang minggu ini menggegerkan Amerika dengan membantai puluhan rekannya di Virginia Tech, barangkali juga seperti Kain. Ia, dikabarkan membenci lingkungannya yang “mapan”, yang “terang dsn wangi”, karena mungkin ia melihat ada banyak yang “tidak beres” di sana. Ia sendiri, seperti Kain, merasa sudah menjalani hidup dengan “setia” tapi toh tetap melarat dan tersisih.
Cho, dengan gaya dan caranya sendiri, mungkin merasa tengah melakukan “jihad”. Kita di sini mungkin akan ketawa seraya menyebutnya “sakit”, tapi bukankah kita tak asing dengan kegilaan semacam ini? Bukankah gerombolan teroris yang mengacau di sekitar kita juga menyebut diri mereka sekadar melakukan “jihad “ atas nama hal-hal luhur?
Dan seperti Cho Seng-hui mereka juga tak pernah merasa perlu bertanya siapa atau layakkah kerumunan yang anonim itu dikorbankan.
Tindakan “diskriminatif” ini menyalakan kemarahan Kain, yang kemudian kita tahu berujung pada dibunuhnya Abel. Konon, inilah pembunuhan pertama di bumi, dosa kedua yang dibuat manusia setelah pelanggaran di Firdaus sebelumnya.
Motif Kain membantai saudaranya adalah rasa iri yang dipicu oleh tindakan “diskriminatif” Tuhan. Kitab Suci tidak secara jelas menceritakan mengapa Tuhan menolak sesembahan Kain. Bersalakah Kain sebetulnya? Saya menemukan penafsiran menarik perihal ini dalam sebuah sajak Sapardi Djoko Damono yang menyebut pembunuhan purba itu sebagai “dendam pertama kemanusiaan” dari “manusia yang setia tapi tersisih” (baca “Dua Sajak Di Bawah Satu Nama”, kump. Puisi DukaMu Abadi).
Pembantaian Kain atas Abel menjadi pola yang terus berulang. Di satu sisi ada “Kain”, si “manusia yang setia tapi tersisih” itu, dan di seberang sana Abel, ia yang selalu beruntung, hidup riang dalam kelimpahan dan kesenangan di ruang-ruang yang terang dan berbau wangi. Kain melihat ada yang “tidak beres” dalam kehidupan Abel yang berkelimpahan itu. Lalu muncullah kemudian kemarahan, dan niat “membereskan” yang “tidak beres” itu.
Cho Seung-hui, mahasiswa asal Korea Selatan, yang minggu ini menggegerkan Amerika dengan membantai puluhan rekannya di Virginia Tech, barangkali juga seperti Kain. Ia, dikabarkan membenci lingkungannya yang “mapan”, yang “terang dsn wangi”, karena mungkin ia melihat ada banyak yang “tidak beres” di sana. Ia sendiri, seperti Kain, merasa sudah menjalani hidup dengan “setia” tapi toh tetap melarat dan tersisih.
Cho, dengan gaya dan caranya sendiri, mungkin merasa tengah melakukan “jihad”. Kita di sini mungkin akan ketawa seraya menyebutnya “sakit”, tapi bukankah kita tak asing dengan kegilaan semacam ini? Bukankah gerombolan teroris yang mengacau di sekitar kita juga menyebut diri mereka sekadar melakukan “jihad “ atas nama hal-hal luhur?
Dan seperti Cho Seng-hui mereka juga tak pernah merasa perlu bertanya siapa atau layakkah kerumunan yang anonim itu dikorbankan.
No comments:
Post a Comment