https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

13 April 2007

Merawat Kesetiaan

DALAM kata pengantar untuk kumpulan puisi lengkap Goenawan Mohamad (1961-2001), Ayu Utami dan Sitok Srengenge menulis antara lain bahwa penerbitan secara lengkap karya seorang penyair adalah sebentuk penghargaan untuk “kesetiaan” yang sudah dilakoninya. Seorang penyair, mungkin saja lelah dan bosan, atau malahan membenci tulisannya sendiri, tapi toh ia—dalam konteks ini Goenawan Mohamad—ternyata terus bertahan menulis.

Banyak sekali godaan yang bisa merontokkan “iman” seorang penyair berhenti menulis. Banyak alasan untuk “murtad”. Panggung puisi kita pada era 1980-an pernah diisi antara lain oleh nama-nama “besar” dari dinasti Masardi : Yudhistira, Noorca, Adhie. Mereka adalah bibit-bibit unggul yang pernah diharapkan bakal menyumbang banyak. Tapi sesudah sempat bikin “ribut” sebentar, pelan-pelan mereka malah menghilang dari panggung.

Contoh seperti mereka lumayan banyak. Marilah coba iseng kita hadirkan lagi mereka : Adri Darmaji Woko, B Priyono Sudiono, Adek Alwi, Fakhrunnas MA Jabbar, Irawan Sandya Wiraatmaja, Lazuardi Adi Zage, Heryus Saputro, Heru Emka, Suparwan G Parikesit, Beni Setia, Andrik Purwasito, Lucianus Bambang Suryanto, Bambang Widiatmoko, Aming Aminudin, Slamet Raharjo Rais, Nasrudin Anshory—silakan menambah sendiri daftar ini.

Sebagian kecil dari mereka pernah “kepergok” ternyata masih menulis, tapi dengan produktivitas dan kualitas yang sudah jauh merosot. Sisanya tak sempat terlacak. Bisa saja mereka pun masih terus menulis, hanya mungkin—dengan alasan yang tidak bisa diganggu gugat--tidak berminat lagi ikut bermain di panggung. Kalau begitu duduk soalnya kita pun tidak bisa apa-apa.

Di luar itu pastilah ada mereka yang betul-betul “mati”. Sebagian dari mereka mungkin “dibunuh” oleh rutinitas keseharian--ini barangkali kasus terbanyak—lainnya oleh sebab-sebab yang bisa disebut “ideologis”—misalnya karena hilangnya rasa respek mereka kepada puisi itu sendiri. Nah yang begini ini baru repot.

Dalam urusan “kesetiaan” kepada puisi ini, tentulah juga menarik menunggu bagaimana gerangan kelanjutan kiprah sejumlah besar nama “baru” yang belum lama ini pernah direkomendasi oleh Joko Pinurbo sebagai bibit-bibit unggul di panggung puisi kita hari ini. Sampai berapa lamakah mereka bisa bertahan untuk tidak jatuh pada godaan-godaan untuk, katakanlah, “selingkuh” dari puisi? Silakan menjawab, dengan karya …

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...