https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

05 April 2007

Sisifus atau Kristus?

ADA sedikit kemiripan setting kalau kita membandingkan kisah Sisifus dan kisah penyaliban Kristus. Sisifus harus mendorong batu besar ke puncak gunung, sementara Kristus menggotong salibmendaki sebuah bukit yang dikenal dengan nama Golgota, atau Tempat Tengkorak. Keduanya terlihat sebagai sosok-sosok yang tragis, berkeringat dan berdarah-darah, di bawah tindasan nasib yang bengis.

Tapi hanya sampai di situ kemiripannya. Sisifus adalah korban para dewa. Batu besar yang dengan susah payah didorongnya itu tak pernah sampai ke puncak. Selalu, sebelum tiba di puncak, batu itu menggelinding lagi jatuh, dan Sisifus harus kembali turun, mulai lagi dari nol, dan mencoba mendorong kembali batu sialan itu. Begitu terjadi berulang-ulang, selama ribuan tahun. Sisifus, adalah sebuah lakon kesia-siaan.

Kristus memang akhirnya mati. Sebuah tikaman pada lambung menyudahi kehadiran lahiriahnya di dunia. Tapi kita tahu kisahnya tidak selesai sampai di situ. Ada kemudian kebangkitan sesudah kematian tubuh itu. Ada kemenangan menjemput di balik yang kelihatan seperti “kekalahan” itu.

Dan kemenangan, seperti pijar fajar, hanya bisa dijumpai sesudah genap seluruh malam dijalani. Tidak ada yang instan apalagi gratis. Kebangkitan itu, kemenangan itu, menjadi satu paket dengan sengsara dan kematian. Bukankah hanya kalau sebuah biji jatuh dan mati, barulah ia bisa tunbuh dan berbuah? Ini ada miripnya dengan ajaran sebuah agama timur lain yang mengajarkan bahwa moksa, nirvana, hanya tersedia sesudah rampung samsara.

Pencipta dongeng Sisifus hanya sampai pada samsara. Ia gagal menjumpai fajar di ujung malam. Atau barangkali fajar itu, moksa dan nirvana itu, baginya hanya hiburan palsu di tengah carut-marut hidup. Hanya sebuah nonsens.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...