
Lantas ada Joko Pinurbo. Ia sukses menjadi salah satu ikon puisi kita karena “celana”, sebuah substansi “remeh” yang juga sangat sekali sehari-sehari dan tak masuk hitungan tadinya Tapi di tangan penyair ini, substansi yang “tidak puitis” ini telah diubahnya menjadi puisi-puisi kelas satu yang sebelumnya tidak pernah bisa kita bayangkan. Joko telah berhasil mengangkat “celana” menjadi substansi yang tidak lagi sekedar “celana”.
Syarat menjadi penyair sukses juga bukan tersedianya stok pengalaman nan dahsyat. Sapardi Djoko Damono mengaku suka iri kalau membaca pengalaman sastrawan lain yang serba hebat. Untunglah, sekali lagi, mempunyai pengalaman aneh atau dahsyat bukan menjadi syarat. Sapardi Djoko Damono dan Joko Pinurbo sukses karena mereka tahu “bagaimana” menyulap yang “sepele” itu menjadi “tidak sepele” lagi.
Memang, urusan kesusasteraan lebih pada masalah “bagaimana” kita menuliskannya ketimbang “apa” yang kita tuliskan. Tugas kita yang pertama adalah menemukan dulu “apa” yang menjadi tema hidup kita, atau “apa” yang paling jadi obsesi kita. Tidak usah risau—atau malu--kalau kita misalnya tidak tertarik pada tema sosial dan “besar” lainnya, tapi sebaliknya begitu kesengsem dengan hal-hal “remeh” di seputar kita. Tulislah saja “apa” yang paling ingin kita tulis. Jangan mulai menulis dengan membohongi diri sendiri.
1 comment:
Setuju sekali Pak, 'ingin' itu perlu :)
Post a Comment