https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

01 July 2007

Orang Ketiga

SEORANG penulis mungkin saja terkecoh oleh tulisannya sendiri. Keterkecohan itu bisa datang dalam dua model. Seorang penulis bisa saja mengira ia baru sukses melahirkan sebuah karya besar, padahal itu hanya karya biasa. Atau sebaliknya, bisa jadi ia kecewa berat dengan karya yang baru ditulisnya, menganggapnya sebagai karya gagal, padahal ia baru saja melahirkan sebuah karya bagus, bahkan mungkin sebuah masterpiece.

Kadang dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyadari kekeliruan itu. Suatu ketika pernah saya mengirim sejumlah puisi ke sebuah jurnal sastra ternama. Kiriman itu dikembalikan dengan disertai alasan penolakan dari redaksinya. Tak puas dengan penolakan itu, naskah itu saya kirim balik disertai permintaan supaya redaksi memberikan alasan yang “lebih jelas” tentang alasan penolakannya. Baru bertahun-tahun kemudian saya ngeh sendiri betapa buruknya puisi-puisi yang saya kirimkan dulu itu.

Athol Fugard pernah menelantarkan naskah Tsotsi selama 20 tahun, karena menganggap itu sebuah karya yang gagal, dan tak layak terbit. Ia malah pernah mencoba memusnahkan naskah novel itu. Untunglah masih ada draft yang bisa diselamatkan, dan kemudian seorang Stephen Gray—dengan ijin ketat Athol Fugard sendiri—menyunting naskah itu, lalu menerbitkannya. Dan kisah selanjutnya adalah sejarah.

Seorang penulis ternyata juga memerlukan kehadiran “orang ketiga”—selain pembaca imajiner selaku “orang kedua” yang sudah dibayangkannya sewaktu ia menulis--yang bisa membantunya melihat dengan lebih jernih. Posisi “orang ketiga” itu itu bisa saja ditempati oleh seorang kritikus. HB Jassin pernah memainkan peran “orang ketiga” ini dalam sejarah sastra kita. Entah berapa persisnya jumlah sastrawan yang sempat dibaptisnya, dan entah berapa pula calon sastrawan yang sudah dibantainya.

Selain teman-teman karib yang bisa diandalkan dan dipercaya, sekarang ini peran “orang ketiga” itu kerap dimainkan oleh para redaktur sastra di koran-koran. Tidak semua redaktur koran bisa memainkan peran ini dengan baik. Banyak juga yang malah bikin bingung--tapi bukan tidak ada redaktur sastra koran yang bisa diandalkan. Saya ingin katakan bahwa redaktur seperti itu memang ada. Carilah dan temukan mereka, dan kesanalah sebaiknya kita kirimkan karya-karya kita. Tidak terutama untuk menguber pengakuan—atau honorarium—melainkan sebagai kesempatan mengetes seberapa jernih kita sudah menilai dengan benar tulisan-tulisan kita sendiri.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...