JIKA anda seorang pembaca fanatik majalah Tempo, yang dengan setia mengikuti perjalanan pasang surut majalah berita ini selama beberapa puluh tahun keberadaannya, maka buku Wars Within (penerbit Dian Rakyat, Agustus 2007) yang ditulis Janet Steele, Asscociate Profesor pada The School of Media and Public Universitas George Washington ini, “haram” untuk dilewatkan.
Diterjemahkan dengan bagus oleh Arif Zulkifli, Janet Steele menulis dengan gaya naratif yang menjadikan bukunya selain “perlu”, juga “enak” dibaca. Ia mendasarkan bukunya pada hasil observasi yang sangat intens, melalui setidaknya 100 wawancara dengan para pendiri dan penulis Tempo, dan memanfaatkan pula timbunan arsip berita yang belum pernah disiarkan.
Ia pun melibatkan diri dalam keseharian majalah itu : hadir pada rapat-rapat intern, ikut bergadang pada malam-malam tenggat, bahkan juga nimbrung dalam acara-acara non formal yang diadakan keluarga besar majalah berita yang pernah dianggap “paling penting” ini.
Tempo memang sebuah media yang unik. Lahir dari rahim Orde Baru—bahkan sampai batas tertentu sering dituduh atau dianggap memainkan peran sebagai “corong” Orde Baru—tapi pada perjalanannya kemudian harus berbenturan, bahkan kemudian “dibunuh” oleh rejim yang pernah merahiminya. Buku ini berhasil memaparkan dan menganalisis dengan hampir senpurna perjalanan panjang itu.
Mulai dari periode semasih berkantor di Proyek Senen--sebuah kawasan padat dan keras di Jakarta, yang lantainya “sering bergoyang”--masa ketika “jumlah orang sedikit, kerja siang malam, lepas baju, merokok, teriak-teriak, joke, segala macam” (hal 206) menuju periode yang “efisien” dan “terorganisir” di kawasan bisnis modern, Kuningan, Jakarta., tapi yang kemudian malah berbuntut pada pecah dan hengkangnya sebagian dari mereka ke media lain.
Tentu saja bicara tentang Tempo tidak mungkin kalau tidak ngobrolin juga Goenawan Mohamad (GM), seorang yang perannya, kata Nono Anwar Makarim, “tak tergantikan”. Justru salah satu daya tarik lain Wars Within adalah karena keberhasilan Janet Steele memotret sosok penyair yang memang sudah sejak awalnya menjadi “ruh” dari Tempo ini.
Oleh rekan-rekan dekatnya GM sering digambarkan sebagai sosok yang “pemalu dan tertutup”, yang gerak-geriknya, kata Nono Anwar Makarim, seperti orang yang belum makan selama 2 hari. Ketika Tempo bertambah makmur GM sering disindir sebagai orang yang “berhasil” membawa Tempo menjadi begitu “kompromistis pada penguasa”. Salah satu hasilnya adalah sewaktu dibredel pada 1982, dengan tidak kelewat susah payah majalah itu akhirnya bisa terbit kembali. Ada juga yang mengejeknya sebagai “kapitalis malu-malu kucing”.
Tapi gelombang prahara yang menerpa Tempo kemudian mengubahnya menjadi “orang nomor satu yang paling berbahaya di Indonesia”, setidaknya begitulah penilaian dinas intelijen negara saat itu. Ia terlibat dalam serangkaian manuver politik bawah tanah yang berbahaya untuk memperjuangkan terbit kembalinya Tempo. 21 Mei 1998 Soeharto lengser—kejatuhan yang terlalu cepat, kata GM, karena infrakstuktur yang diperlukan untuk kehidupan yang demokratis belum lagi siap—dan Tempo pun “bangkit” kembali dari kuburannya di tengah situasi euforia yang kebablasan.
Jika dihitung seksama, dengan memasukkan juga masa 3 tahun pembungkaman (1994-1998) ke dalamnya—karena pada kenyataannya Tempo memang tidak pernah sepenuhnya bisa dimatikan (Prolog, hal.x)—umur majalah ini sekarang sudah 35 tahun. Lebih panjang dari usia rejim yang pernah mencoba membekapnya.
Diterjemahkan dengan bagus oleh Arif Zulkifli, Janet Steele menulis dengan gaya naratif yang menjadikan bukunya selain “perlu”, juga “enak” dibaca. Ia mendasarkan bukunya pada hasil observasi yang sangat intens, melalui setidaknya 100 wawancara dengan para pendiri dan penulis Tempo, dan memanfaatkan pula timbunan arsip berita yang belum pernah disiarkan.
Ia pun melibatkan diri dalam keseharian majalah itu : hadir pada rapat-rapat intern, ikut bergadang pada malam-malam tenggat, bahkan juga nimbrung dalam acara-acara non formal yang diadakan keluarga besar majalah berita yang pernah dianggap “paling penting” ini.
Tempo memang sebuah media yang unik. Lahir dari rahim Orde Baru—bahkan sampai batas tertentu sering dituduh atau dianggap memainkan peran sebagai “corong” Orde Baru—tapi pada perjalanannya kemudian harus berbenturan, bahkan kemudian “dibunuh” oleh rejim yang pernah merahiminya. Buku ini berhasil memaparkan dan menganalisis dengan hampir senpurna perjalanan panjang itu.
Mulai dari periode semasih berkantor di Proyek Senen--sebuah kawasan padat dan keras di Jakarta, yang lantainya “sering bergoyang”--masa ketika “jumlah orang sedikit, kerja siang malam, lepas baju, merokok, teriak-teriak, joke, segala macam” (hal 206) menuju periode yang “efisien” dan “terorganisir” di kawasan bisnis modern, Kuningan, Jakarta., tapi yang kemudian malah berbuntut pada pecah dan hengkangnya sebagian dari mereka ke media lain.
Tentu saja bicara tentang Tempo tidak mungkin kalau tidak ngobrolin juga Goenawan Mohamad (GM), seorang yang perannya, kata Nono Anwar Makarim, “tak tergantikan”. Justru salah satu daya tarik lain Wars Within adalah karena keberhasilan Janet Steele memotret sosok penyair yang memang sudah sejak awalnya menjadi “ruh” dari Tempo ini.
Oleh rekan-rekan dekatnya GM sering digambarkan sebagai sosok yang “pemalu dan tertutup”, yang gerak-geriknya, kata Nono Anwar Makarim, seperti orang yang belum makan selama 2 hari. Ketika Tempo bertambah makmur GM sering disindir sebagai orang yang “berhasil” membawa Tempo menjadi begitu “kompromistis pada penguasa”. Salah satu hasilnya adalah sewaktu dibredel pada 1982, dengan tidak kelewat susah payah majalah itu akhirnya bisa terbit kembali. Ada juga yang mengejeknya sebagai “kapitalis malu-malu kucing”.
Tapi gelombang prahara yang menerpa Tempo kemudian mengubahnya menjadi “orang nomor satu yang paling berbahaya di Indonesia”, setidaknya begitulah penilaian dinas intelijen negara saat itu. Ia terlibat dalam serangkaian manuver politik bawah tanah yang berbahaya untuk memperjuangkan terbit kembalinya Tempo. 21 Mei 1998 Soeharto lengser—kejatuhan yang terlalu cepat, kata GM, karena infrakstuktur yang diperlukan untuk kehidupan yang demokratis belum lagi siap—dan Tempo pun “bangkit” kembali dari kuburannya di tengah situasi euforia yang kebablasan.
Jika dihitung seksama, dengan memasukkan juga masa 3 tahun pembungkaman (1994-1998) ke dalamnya—karena pada kenyataannya Tempo memang tidak pernah sepenuhnya bisa dimatikan (Prolog, hal.x)—umur majalah ini sekarang sudah 35 tahun. Lebih panjang dari usia rejim yang pernah mencoba membekapnya.
No comments:
Post a Comment