MENULIS puisi sangatlah beda dengan menulis esai, atau bentuk artikel umum lainnya. Menulis puisi menuntut kesiapan teknis dan mental yang jauh lebih berat—sangat spesifik, sebutlah begitu. Ia sungguh menyaratkan suasana batin yang hening, suasana hati yang barangkali tak kelewat salah kalau disebut mirip dengan “trance”.
Suatu suasana batin yang membuat kita seolah—untuk beberapa jenak--berjarak dan terselamatkan dari keriuhan di seputar dan keseharian kita. Sebuah kondisi yang menyebabkan kita seolah “mabuk kata”, atau hanyut dalam arus bandang imaji yang tak berkeputusan. Puisi lahir seperti sebuah “kecelakaan”, atau, kalau anda suka mendramatisasinya, seperti “takdir” itu sendiri.
Karena itu kelahiran puisi tak bisa direncanakan, dan tak mungkin diulangi lagi. Kalau kita memaksakannya juga, kita hanya akan mendapatkan tiruan yang sudah kehilangan spirit aslinya Karena itu tak ada jaminan seorang penyair yang hari ini menulis puisi bagus, besok atau lusa, akan menulis sama bagusnya. Bahkan tak ada jaminan samasekali ia masih akan bisa terus menulis.Puisi yang hari ini ditulisnya bisa saja puisi terakhirnya.
Karena itu sebetulnya keliru menggelari si anu atau si itu misalnya sebagai penyair “terbaik”. Sebab tak pernah ada penyair terbaik. Yang ada, mungkin, puisi yang baik.
Suatu suasana batin yang membuat kita seolah—untuk beberapa jenak--berjarak dan terselamatkan dari keriuhan di seputar dan keseharian kita. Sebuah kondisi yang menyebabkan kita seolah “mabuk kata”, atau hanyut dalam arus bandang imaji yang tak berkeputusan. Puisi lahir seperti sebuah “kecelakaan”, atau, kalau anda suka mendramatisasinya, seperti “takdir” itu sendiri.
Karena itu kelahiran puisi tak bisa direncanakan, dan tak mungkin diulangi lagi. Kalau kita memaksakannya juga, kita hanya akan mendapatkan tiruan yang sudah kehilangan spirit aslinya Karena itu tak ada jaminan seorang penyair yang hari ini menulis puisi bagus, besok atau lusa, akan menulis sama bagusnya. Bahkan tak ada jaminan samasekali ia masih akan bisa terus menulis.Puisi yang hari ini ditulisnya bisa saja puisi terakhirnya.
Karena itu sebetulnya keliru menggelari si anu atau si itu misalnya sebagai penyair “terbaik”. Sebab tak pernah ada penyair terbaik. Yang ada, mungkin, puisi yang baik.
3 comments:
klo penyair teladan ada tak? :))
Saya sependapat dengan Bung Ook. menjadi penyair terbaik itu sulit,puisi yang lahir seperti cuaca, puisi yang baik juga belum tentu baik untuk segelintir orang. sebab itu penyair harus pandai,memuaskan haus sendiri akan kata-katanya, hingga ia merasa dirinya adalah penyair terbaik. salam ...
saya tidak tahu apakah saya penyair atau tidak. namun saya ingin selalu berada dengan puisi. salam.
feni efendi
Post a Comment