Ayah saya, seperti jutaan ayah lain di dunia, hanya manusia biasa. Ia lahir di Jamblang, sebuah kota kecamatan yang lengang di pinggir Cirebon, beberapa puluh kilometer dari Jatiwangi, kampungnya sastrawan Ajip Rosidi. Ia hanya sempat sekolah sampai MULO (sekarang SLP), lalu dengan bercelana pendek merantau ke Jakarta. Itu sekitar tahun 50’an. Ia memulai perjuangannya sebagai klerk di sebuah perusahaan asuransi swasta Inggris, dan kelak pensiun sebagai seorang manajer, juga di sebuah perusahaan asuransi yang lumayan besar. Ia mencapai itu semua lewat jalur otodidak. Tapi banyak orang mengakui tangan dinginnya dalam urusan perasuransian. Ia juga dianggap berhasil mempertahankan integritasnya sebagai seorang pegawai yang jujur, padahal pada tahun-tahun terakhir masa kerjanya, ia memiliki banyak peluang untuk, katakanlah , sedikit bermain sulap. Tapi ia tak mengambil kesempatan itu.
Saya mengenangnya sebagai ayah yang penyabar. Setidaknya dibanding ibu yang pemberang, dan kerap “menghajar” saja dengan pecutan ikat pinggang atau rotan kalau saya keluyuran agak berlama-lama. Ia mengajari saya beberapa jurus silat waktu saya SD. Ia pengagum berat Prof Sumitro, bapaknya Prabowo, yang mantunya Suharto itu. Tapi ia meremehkan figur semacam Benyamin S, yang walaupun sesosok figur sukses, dianggapnya “kasar” dan (maaf) “kampungan”. Untuk pelawak, pilihannya jatuh pada Bing Slamet. Sedang penyanyi idolanya adalah Jim Reeves, Pat Boone, Conny Francis, tapi ia bisa menikmati juga beberapa lagu The Bee Gees. Ah, ia juga penyuka tontonan tinju.. Ia memaksakan diri bangun dari ranjang sakitnya hanya untuk melihat bagaimana si “mulut besar” Muhammad Ali dibungkamkan muridnya sendiri, Larry Holmes.
Ia tak bosannya menasehati saya supaya “pandai bergaul”. Ia sungguh khawatir melihat anak pertamanya, lelaki pula, begitu pemalu dan malas bergaul. Pandai bergaul adalah kunci pertama untuk bisa sukses, itu beberapa kali diulangnya. Dan tidak sukes, yang artinya di sini adalah “hidup miskin” sungguh tidak enak, katanya meyakinkan. Dan ia memang mengenal betul apa artinya “hidup tidak enak dalam kemiskinan itu”. Ia pernah kena tipu tetangga Arab di sebelah rumah yang mengajaknya kongsian bikin kecap. Membuat kecap adalah salah satu keahlian sampingannya. Banyak yang bilang kecap buatanya “lumayan”, tapi barangkali karena “kurang pandai bergaul” modal bagus itu terbuang percuma. Ia, agaknya, tak mau saya mengulang kesalahan itu.
Di masa mudanya ia jauh dari agama. Ia malah dekat dengan ilmu kebatinan, bahkan menggaulinya dengan cukup intens. Ia juga belajar hipnotisme, sampai tingkat yang lumayan jauh. Menginjak usia pertengahan, ia meninggalkan semua itu, dan kembali ke pangkuan agama. Mungkin karena latar belakangnya yang begitu, ia tak memaksa sewaktu saya kelihatan seperti mengikuti jejaknya dulu. Ia malah menyerahkan sebuah buku berisi catatan pelajaran kebatinannya. Ah, adegan penyerahan kitab itu, kalau saya mengenangnya sekarang, bak adegan dalam sebuah cerita silat saja.
Tiga bulan sesudah menyerahkan kitab itu, ia tak tertolong lagi. Ibu saya bercerita bahwa ayah saya sudah pernah 2 kali nyaris meninggal sebelumnya. Ia pernah coba “diserang” dengan semacam ilmu santet. Tiga hari terlentang di rumah sakit. Gejalanya mirip tbc akut, begitulah kata dokter rumah sakit yang merawatnya. Dan dokter itu menyerah, seraya menyebut ayah hanya tinggal menunggu waktu. Tapi ia tertolong oleh seorang paranormal, begitulah sekarang kita biasa menyebutnya, yang kemudian menjadi gurunya. Kali lain sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan hebat dengan sebuah truk di sebuah pengkolan. Ajaib. Ia tak langsung mati. Waktu sadar ia menemukan tubuhnya masih terbujur di jalan, berdarah-darah. Orang-orang hanya asyik menontoninya. Tapi lalu lewat serombongan suster Belanda. Dan ia kembali selamat.
Tapi hari itu, ia tak terselamatkan lagi. Dokter mendiagnosa penyakitnya sebagai kanker. Tapi ia sendiri percaya kankernya adalah “kiriman” seseorang. Karena ia memang pernah tahu soal seputar ini, saya pun cenderung agak mempercayainya. Tapi ketika saya mendesak siapa kira-kira “seseorang” yang mengiriminya paket kanker itu, ia hanya menggeleng lemah. “Takut salah”, katanya. Saya pun hanya terdiam.
Kalau masih hidup, umurnya kini 85. Tapi, 2 November, 26 tahun yang lalu, pada suatu Minggu pagi yang biasa, ia pergi buat selamanya. Sabtu kemarinnya, adalah hari pertama saya masuk kerja. Ada tahyul yang bilang bahwa “tak baik memulai sesuatu pada hari Sabtu”. Apakah ini ada hubungannya? Entahlah. Sebetulnya sudah sejak Kamis kondisinya memburuk. Tapi ia seperti mencoba bertahan sampai mendapat kepastian bahwa anak lelaki pertamanya, yang pemalu dan malas bergaul itu, akhirnya masuk kerja. Apa betul demikianlah halnya? Tentu saja, lagi-lagi, saya tak tahu.
Saya mengenangnya sebagai ayah yang penyabar. Setidaknya dibanding ibu yang pemberang, dan kerap “menghajar” saja dengan pecutan ikat pinggang atau rotan kalau saya keluyuran agak berlama-lama. Ia mengajari saya beberapa jurus silat waktu saya SD. Ia pengagum berat Prof Sumitro, bapaknya Prabowo, yang mantunya Suharto itu. Tapi ia meremehkan figur semacam Benyamin S, yang walaupun sesosok figur sukses, dianggapnya “kasar” dan (maaf) “kampungan”. Untuk pelawak, pilihannya jatuh pada Bing Slamet. Sedang penyanyi idolanya adalah Jim Reeves, Pat Boone, Conny Francis, tapi ia bisa menikmati juga beberapa lagu The Bee Gees. Ah, ia juga penyuka tontonan tinju.. Ia memaksakan diri bangun dari ranjang sakitnya hanya untuk melihat bagaimana si “mulut besar” Muhammad Ali dibungkamkan muridnya sendiri, Larry Holmes.
Ia tak bosannya menasehati saya supaya “pandai bergaul”. Ia sungguh khawatir melihat anak pertamanya, lelaki pula, begitu pemalu dan malas bergaul. Pandai bergaul adalah kunci pertama untuk bisa sukses, itu beberapa kali diulangnya. Dan tidak sukes, yang artinya di sini adalah “hidup miskin” sungguh tidak enak, katanya meyakinkan. Dan ia memang mengenal betul apa artinya “hidup tidak enak dalam kemiskinan itu”. Ia pernah kena tipu tetangga Arab di sebelah rumah yang mengajaknya kongsian bikin kecap. Membuat kecap adalah salah satu keahlian sampingannya. Banyak yang bilang kecap buatanya “lumayan”, tapi barangkali karena “kurang pandai bergaul” modal bagus itu terbuang percuma. Ia, agaknya, tak mau saya mengulang kesalahan itu.
Di masa mudanya ia jauh dari agama. Ia malah dekat dengan ilmu kebatinan, bahkan menggaulinya dengan cukup intens. Ia juga belajar hipnotisme, sampai tingkat yang lumayan jauh. Menginjak usia pertengahan, ia meninggalkan semua itu, dan kembali ke pangkuan agama. Mungkin karena latar belakangnya yang begitu, ia tak memaksa sewaktu saya kelihatan seperti mengikuti jejaknya dulu. Ia malah menyerahkan sebuah buku berisi catatan pelajaran kebatinannya. Ah, adegan penyerahan kitab itu, kalau saya mengenangnya sekarang, bak adegan dalam sebuah cerita silat saja.
Tiga bulan sesudah menyerahkan kitab itu, ia tak tertolong lagi. Ibu saya bercerita bahwa ayah saya sudah pernah 2 kali nyaris meninggal sebelumnya. Ia pernah coba “diserang” dengan semacam ilmu santet. Tiga hari terlentang di rumah sakit. Gejalanya mirip tbc akut, begitulah kata dokter rumah sakit yang merawatnya. Dan dokter itu menyerah, seraya menyebut ayah hanya tinggal menunggu waktu. Tapi ia tertolong oleh seorang paranormal, begitulah sekarang kita biasa menyebutnya, yang kemudian menjadi gurunya. Kali lain sepeda motor yang dikendarainya bertabrakan hebat dengan sebuah truk di sebuah pengkolan. Ajaib. Ia tak langsung mati. Waktu sadar ia menemukan tubuhnya masih terbujur di jalan, berdarah-darah. Orang-orang hanya asyik menontoninya. Tapi lalu lewat serombongan suster Belanda. Dan ia kembali selamat.
Tapi hari itu, ia tak terselamatkan lagi. Dokter mendiagnosa penyakitnya sebagai kanker. Tapi ia sendiri percaya kankernya adalah “kiriman” seseorang. Karena ia memang pernah tahu soal seputar ini, saya pun cenderung agak mempercayainya. Tapi ketika saya mendesak siapa kira-kira “seseorang” yang mengiriminya paket kanker itu, ia hanya menggeleng lemah. “Takut salah”, katanya. Saya pun hanya terdiam.
Kalau masih hidup, umurnya kini 85. Tapi, 2 November, 26 tahun yang lalu, pada suatu Minggu pagi yang biasa, ia pergi buat selamanya. Sabtu kemarinnya, adalah hari pertama saya masuk kerja. Ada tahyul yang bilang bahwa “tak baik memulai sesuatu pada hari Sabtu”. Apakah ini ada hubungannya? Entahlah. Sebetulnya sudah sejak Kamis kondisinya memburuk. Tapi ia seperti mencoba bertahan sampai mendapat kepastian bahwa anak lelaki pertamanya, yang pemalu dan malas bergaul itu, akhirnya masuk kerja. Apa betul demikianlah halnya? Tentu saja, lagi-lagi, saya tak tahu.
No comments:
Post a Comment