https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

04 November 2008

Bolak-Balik Menimbang "Orgasmaya"

SAYA menerima kiriman buku kumpulan puisi “Orgasmaya” baru-baru ini saja. Penulisnya, penyair Hasan Aspahani (seterusnya HAH), adalah salah satu penyair yang cukup berhasil membetot perhatian kita beberapa tahun belakangan ini. Ada sejumlah hal yang selama ini memang “mengusik” saya pada sajak-sajaknya, maka ketika “Orgasmaya”, kitab puisi sulungnya, sampai di haribaan, saya tergoda untuk menuliskan semacam komentar kecil atasnya. Tapi saya agak bingung musti memulai dari mana. Pun saya ragu, adakah saya pengulas yang pantas untuk buku itu?

HAH memberi pengantar yang, bagi saya, terasa “menyegarkan” untuk buku puisinya : sebuah obrolan imajiner dengan Pablo Neruda, penyair besar dunia yang sangat dikaguminya. Lalu terpikir untuk memberi judul ulasan saya nanti “Pablo Neruda dari Batam”, tapi saya kuatir nanti dikira malah mengolok-olok HAH. Maklum, spesies ajaib yang disebut penyair itu bukankah tergolong jenis yang sangat sensitif? Kudu ekstra hati-hati untuk mendekatinya. Maka saya pikir pilihan judul itu baiklah saya batalkan.

Lalu saya membaca komentar yang dimuat di kulit belakang buku. Nah, saya pikir apa yang ditulis Joko Pinurbo di sana sudah mewakili sebagian besar hal yang mau saya katakan. Dan seperti Joko, saya pun diam-diam suka “iri” dengan energi intelektual Hasan, yang meluap seperti tiada habisnya itu. Kalau melihat betapa energiknya ia menulis (di blognya) saya suka ingat pada dahsyatnya semburan lumpur di Porong. Kebetulan ia juga ada menulis perihal lumpur. Begitulah sajak-sajaknya itu, macam lumpur. terus saja menyembur, membanjir dan “mendengus” tak henti-hentinya, “seperti ribuan jemaah haus” (Sajak “Kisah Kota Lumpur”).

HAH juga seorang penjelajah yang rajin dan cermat. Mungkin kiprahnya di jurnalisme—yang memaksanya hidup berdempetan dengan banyak ihwal dalam tempo yang bergesa--ikut menempa semangat jelajahnya itu. Maka ia sering kedapatan asyik menyelinap di antara beragam celah peristiwa dan kabar sehari-hari, yang heboh maupun yang remeh kecil-kecilan, berindap-indap memilih sudut pandangnya sendiri (yang biasanya unik), sebelum lantas keluar dari sana dengan segenggam sajak tak terduga. Ia sungguh seorang “pencuri” dan pengecoh yang handal..

Tentulah butuh kearifan khusus bagaimana menggabungkan dua jenis dunia yang bergerak bertolak belakang itu—jurnalisme yang mensyaratkan “kesegeraan” dan dunia puisi yang meminta kedalaman, dan itu tentunya antara lain berarti adanya “perlambatan” tempo—menjadi sebuah sintesa yang padu. Penjelajahan ke banyak ihwal itu membawa HAH ke banyak eksperimen bentuk dan gaya pengucapan sajak, yang tidak selamanya bisa ia menangkan.

Hal yang paling mengganggu kenikmatan saya ketika membaca sajak-sajaknya adalah menemukan pengaruh Jokpin yang sangat sekali terasa pada sebagian karyanya. Periksalah sajak-sajak berikut ini misalnya : Dongeng Penyair Pemburu Kaos Oblong, Dongeng Tukang Jahit Selimut, Dongeng Tukang Foto Keliling, Dongeng Pemimpi dan Peti Mimpinya—sajak-sajak itu adalah contoh karya HAH yang sebetulnya bagus, hanya sayang sajak-sajak (seperti) itu sudah “duluan” ditulis Jokpin. Maka sebagus apa pun ia menggarapnya, nilainya jadi berkurang di mata saya.

HAH mungkin baru mulai sungguh mencuri perhatian ketika beberapa tahun yang lalu melempar seri sajak-sajak “Kamus”nya di Kompas. Sajak-sajak tematis itu memberitahu saya kekuatan HAH yang lain lagi. Ia rupanya sungguh melakoni “kredo” yang ditulisnya bahwa “syair itu cuma permainan iseng-iseng mengasyikkan” (Sajak “Dongeng Penyair dan Kehidupan”). Maka baginya menulis sajak rupanya bisa dimulai (dan berakhir) dari mana saja dan di mana saja, dan dengan cara apa saja. Lewat sajak-sajak tematisnya, saya merasa mendapat “garansi” bahwa ia sungguh bukan penyair as usual saja.

Maka saya membayangkan, “Orgasmaya” akan menjadi sebuah kumpulan puisi yang sungguh kuat, padu, dan khas jika saja HAH bersedia menuang seluruh puisi tematis yang sudah pernah ditulisnya selama ini ke dalamnya, seraya dengan besar hati melepaskan puisi-puisi hasil “magangnya” kepada Jokpin. Tapi HAH rupanya punya hitung-hitungan sendiri tentang hal ini--mana tahu kalkulasinya lebih akurat pula ketimbang saya?

Hmm, jadi seperti inilah kira-kira saya akan mengulas “Orgasmaya”. Soal judul ulasan, nanti saja diputuskan saat saya akan mempostingnya. Toh, untuk banyak alasan, judul sering tak teramat penting juga. Meskipun sebetulnya saya sudah cukup sreg dengan judul “Pablo Neruda dari Batam” itu.

3 comments:

Anonymous said...

Pasti capek membolak-balik buku segede itu, Bung he-he. Saya belum pernah tahu ada penyair punya buku puisi seukuran itu, juga Pablo Neruda. Saya kira main-mainnya Hasan dalam berpuisi melahirkan daya produksi yang hebat, meski kerap tersandung sekadar menjadi puisi main-main, sehingga saya kerap merasa kehilangan getaran spontan, semacam semprotan yang "misterius". Saya merasakan ada yang "mekanis" dalam puisi Hasan. Barangkali sudah takdir saya bukan pemuja puisi mekanis.

Ook Nugroho said...

Menjadi "mekanis" pasti tak pernah terpikir oleh HAH. Ah, biar ini jadi PR buat dia.

Anonymous said...

Ya, selama tinggal era mekanistis. Tahun-tahun lalu sebulan saya bisa menulis 30 sajak. Tahun ini? Sudah november baru sekitar 40-an sajak. Dan saya ternyata sehat-sehat saja....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...