Terima kasih kepada waktu
Sebab sudah mengajarku menunggu
Dan kepada umur
Yang menuntunku pada batas
Terima kasih kepada cuaca
Merelakan musim tumbuh berdaun
Juga ruang lapang di seberang
Yang sabar menungguku pulang
Membaca puisi / Menulis puisi / Bukanlah urusan / Seringan angkat besi (Ikranagara)
31 January 2007
29 January 2007
Jokpin Bilang Apa?
Suplemen Ruang Baca edisi Januari 2007 dari Koran Tempo menampilkan percakapan dengan Joko Pinurbo alias Jokpin, penyair yang kerap disebut-sebut sebagai sudah membawa angin segar dalam kehidupan puisi kita hari-hari ini. Mungkin sebagian dari Anda belum sempat membaca percakapan dengan Jokpin yang “penting dan perlu” itu. Dengan pertimbangan itulah saya memberanikan diri memuat (sebagian) dari percakapan itu di halaman ini. Semoga bermanfaat.
Sekarang Anda dipandang sudah mempunyai pengucapan sendiri yang berbeda dengan penyair-penyair sebelum Anda. Bagaimana proses pencariannya?
Saya sudah lebih dari 20 tahun menulis puisi. Artinya menulis secara serius. Saya pelajari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Sutarji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, dan sebagainya. Saya pelajari betul-betul sampai saya tahu ciri masing-masing penyair. Dengan begitu lebih mudah bagi saya untuk menghindari gaya pengucapan yang pernah mereka lakukan. Tapi ternyata dalam perjalanannya ya tetap sulit juga. Boleh dibilang baru pada tahun 1996 itulah ketika saya menggunakan ungkapan-ungkapan celana, saya merasa menemukan gaya yang selama ini saya cari-cari.
Jika Mei 1998 dijadikan salah satu tonggak sejarah Indonesia modern, adakah ciri-ciri signifikan yang membedakan puisi pra reformasi, dan puisi-puisi pasca-reformasi?
Menurut saya tidak ada perbedaan mendasar. Tidak terjadi semacam patahan dan gempa, misalnya, yang membuat keadaan benar-benar berubah. Perbedaannya, sekarang ini tampak semakin banyak orang keranjingan puisi. Juga ruang untuk publikasi dan sosialisasi puisi semakin luas dan beragam, baik melalui media cetak maupun media cyber. Namun situasi ini, sekali lagi, belum melahirkan terjadinya perubahan mendasar atau radikal dalam khazanah perpuisian Indonesia jika yang dimaksud adalah perubahan yang, katakanlah, bersifat ideologis.
Jika peristiwa sosial politik sebesar Peristiwa Mei 1998 yang mengakhiri dominasi rezim yang berkuasa puluhan tahun masih gagal menjadi inspirasi para penyair, lantas bagaimana Anda melihat pokok masalahnya?
Ada dua kemungkinan. Pertama, para pennyair tidak tegiur lagi oleh kepalsuan-kepalsuan dan kesemuan-kesemuan dalam dunia politik. Memang pernah pada masa awal-awal masa “reformasi” kita kebanjiran sajak-sajak “reformasi”, tapi sebagian besar segera menguap karena mutu sastranya tak seberapa kuat dan lebih banyak ditulis dalam suasana euforia semata. Kedua, mereka tidak lagi terpukau pada metanarasi atau narasi-narasi besar. Banyak di antara mereka yang berusaha menghidupkan daya puitik dengan menggali dan menjelajah hal-hal yang (tampak) kecil dan sederhana untuk menyentuh esensi yang lebih dalam dan kompleks.
Siapa saja tokoh-tokoh penyair yang menonjol pasca-reformasi, dan apa ciri utama karya mereka?
Saya belum ingin menggunakan paradigma ketokohan. Kita masih perlu waktu untuk melihat dan menguji bobot “ketokohan” para penyair kita. Namun saya gembira melihat penyair-penyair muda berbakat kelahiran tahun 1970-an dan 1980-an yang muncul dan tumbuh berkembang setelah “gerakan reformasi”. Mereka itu antara lain Hasan Aspahani, Inggit Putia Marga, Raudal Tanjung Banua, Wayan “jengki” Sunarta, Ricky Damparan Putra, Nur Zen Hae, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Binhad Nurohmat, Putu Vivi Lestari, Dina Oktaviani, Ira Komang Puspitaningsih, Aida Idris, S Yoga, TS Pinang, Nanang Suryadi, Urip Herdiman Kambali, Firman Venayaksa, Pranita Dewi, Aurelia Tiara. Itu yang sempat saya amati, di luar itu saya kira masih banyak nama-nama lain.
Ada pengamatan khusus?
Baru sekarang saya menyaksikan munculmya generasi penyair yang jumlah penyair perempuannya agak sebanding dengan jumlah penyair pria. Mereka itu anak-anak muda yang pintar dan cerdas, memiliki wawasan intelektual yang luas, mungkin karena dukungan teknologi informasi juga. Terus terang saya belum bisa merumuskan apa ciri utama karya mereka karena saya sendiri tengah menikmati mereka. Mungkin belum tampak ciri-ciri tertentu yang benar-benar dominan. Syukur jika malah beragam. Yang jelas, karya-karya mereka menunjukkan adanya upaya untuk menjelajahi sumber-sumber pinciptaan yang beraneka warna, mulai dari tradisi sampai budaya pop. Juga ada usaha untuk menjajaki berbagai kemungkinan bentuk atau cara pengucapan. Kalau mau bekerja lebih keras, saya kira mereka memiliki potenti hebat untuk memberikan sumbangan berarti bagi prekembangan dunia puisi Indonesia.
(Dikutip dari rubrik Percakapan pada Ruang Baca – suplemen Koran Tempo -- edisi Januari 2007).
Sekarang Anda dipandang sudah mempunyai pengucapan sendiri yang berbeda dengan penyair-penyair sebelum Anda. Bagaimana proses pencariannya?
Saya sudah lebih dari 20 tahun menulis puisi. Artinya menulis secara serius. Saya pelajari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, Goenawan Mohamad, Sutarji Calzoum Bachri, Sitor Situmorang, dan sebagainya. Saya pelajari betul-betul sampai saya tahu ciri masing-masing penyair. Dengan begitu lebih mudah bagi saya untuk menghindari gaya pengucapan yang pernah mereka lakukan. Tapi ternyata dalam perjalanannya ya tetap sulit juga. Boleh dibilang baru pada tahun 1996 itulah ketika saya menggunakan ungkapan-ungkapan celana, saya merasa menemukan gaya yang selama ini saya cari-cari.
Jika Mei 1998 dijadikan salah satu tonggak sejarah Indonesia modern, adakah ciri-ciri signifikan yang membedakan puisi pra reformasi, dan puisi-puisi pasca-reformasi?
Menurut saya tidak ada perbedaan mendasar. Tidak terjadi semacam patahan dan gempa, misalnya, yang membuat keadaan benar-benar berubah. Perbedaannya, sekarang ini tampak semakin banyak orang keranjingan puisi. Juga ruang untuk publikasi dan sosialisasi puisi semakin luas dan beragam, baik melalui media cetak maupun media cyber. Namun situasi ini, sekali lagi, belum melahirkan terjadinya perubahan mendasar atau radikal dalam khazanah perpuisian Indonesia jika yang dimaksud adalah perubahan yang, katakanlah, bersifat ideologis.
Jika peristiwa sosial politik sebesar Peristiwa Mei 1998 yang mengakhiri dominasi rezim yang berkuasa puluhan tahun masih gagal menjadi inspirasi para penyair, lantas bagaimana Anda melihat pokok masalahnya?
Ada dua kemungkinan. Pertama, para pennyair tidak tegiur lagi oleh kepalsuan-kepalsuan dan kesemuan-kesemuan dalam dunia politik. Memang pernah pada masa awal-awal masa “reformasi” kita kebanjiran sajak-sajak “reformasi”, tapi sebagian besar segera menguap karena mutu sastranya tak seberapa kuat dan lebih banyak ditulis dalam suasana euforia semata. Kedua, mereka tidak lagi terpukau pada metanarasi atau narasi-narasi besar. Banyak di antara mereka yang berusaha menghidupkan daya puitik dengan menggali dan menjelajah hal-hal yang (tampak) kecil dan sederhana untuk menyentuh esensi yang lebih dalam dan kompleks.
Siapa saja tokoh-tokoh penyair yang menonjol pasca-reformasi, dan apa ciri utama karya mereka?
Saya belum ingin menggunakan paradigma ketokohan. Kita masih perlu waktu untuk melihat dan menguji bobot “ketokohan” para penyair kita. Namun saya gembira melihat penyair-penyair muda berbakat kelahiran tahun 1970-an dan 1980-an yang muncul dan tumbuh berkembang setelah “gerakan reformasi”. Mereka itu antara lain Hasan Aspahani, Inggit Putia Marga, Raudal Tanjung Banua, Wayan “jengki” Sunarta, Ricky Damparan Putra, Nur Zen Hae, Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Binhad Nurohmat, Putu Vivi Lestari, Dina Oktaviani, Ira Komang Puspitaningsih, Aida Idris, S Yoga, TS Pinang, Nanang Suryadi, Urip Herdiman Kambali, Firman Venayaksa, Pranita Dewi, Aurelia Tiara. Itu yang sempat saya amati, di luar itu saya kira masih banyak nama-nama lain.
Ada pengamatan khusus?
Baru sekarang saya menyaksikan munculmya generasi penyair yang jumlah penyair perempuannya agak sebanding dengan jumlah penyair pria. Mereka itu anak-anak muda yang pintar dan cerdas, memiliki wawasan intelektual yang luas, mungkin karena dukungan teknologi informasi juga. Terus terang saya belum bisa merumuskan apa ciri utama karya mereka karena saya sendiri tengah menikmati mereka. Mungkin belum tampak ciri-ciri tertentu yang benar-benar dominan. Syukur jika malah beragam. Yang jelas, karya-karya mereka menunjukkan adanya upaya untuk menjelajahi sumber-sumber pinciptaan yang beraneka warna, mulai dari tradisi sampai budaya pop. Juga ada usaha untuk menjajaki berbagai kemungkinan bentuk atau cara pengucapan. Kalau mau bekerja lebih keras, saya kira mereka memiliki potenti hebat untuk memberikan sumbangan berarti bagi prekembangan dunia puisi Indonesia.
(Dikutip dari rubrik Percakapan pada Ruang Baca – suplemen Koran Tempo -- edisi Januari 2007).
28 January 2007
Kepada Sajak
Bolehkah aku masuk,
malam ini aku ingin tidur,
kalau boleh sekalian numpang mimpi
di bawah rindang hurufmu.
Kulihat masih ada celah kosong
di antara titik dan koma itu,
judul juga belum bisa dipastikan.
Jadi, bolehkah aku masuk?
malam ini aku ingin tidur,
kalau boleh sekalian numpang mimpi
di bawah rindang hurufmu.
Kulihat masih ada celah kosong
di antara titik dan koma itu,
judul juga belum bisa dipastikan.
Jadi, bolehkah aku masuk?
Bicara Waktu
Kita tersusun dari waktu
Coba pikirkan itu, dan tercipta
Secara acak, terserak perih
Tanpa pola, di ruang-ruang sejarah
Reguk dahagamu, rasakan
Waktu menderas di tenggorokan
Sebagai santapan, kita pun utuh
Tersaji di atas meja sarapan
Maksudku, kita bakal ludas, habis
Lalu terlahir sebagai waktu yang lain
Segores kesan pada pikiran yang melintas
Tak sengaja, acak, tanpa pola
Coba pikirkan itu, dan tercipta
Secara acak, terserak perih
Tanpa pola, di ruang-ruang sejarah
Reguk dahagamu, rasakan
Waktu menderas di tenggorokan
Sebagai santapan, kita pun utuh
Tersaji di atas meja sarapan
Maksudku, kita bakal ludas, habis
Lalu terlahir sebagai waktu yang lain
Segores kesan pada pikiran yang melintas
Tak sengaja, acak, tanpa pola
25 January 2007
Dari Lomba Puisi Fordisastra
SESUDAH tertunda 3 pekan lebih akhirnya pengumuman hasil Lomba Puisi HUT situs Fordisastra keluar juga. Dewan juri yang terdiri dari Nanang Suryadi, Dino Umahuk, Kurnia Effendi dan Hasan Aspahani menetapkan puisi Ziarah Batu karya Sunlie Thomas Alexander sebagai pemenang pertama lomba itu. Pemenang-pemenang lainnya adalah Wajah Matahari karya Lupita Lukman, Resah Hujan puisi Mutia Sukma. Sedang Keluarga Kecilku karya Arie Saptaji didaulat sebagai juara harapan 1.
Ucapan terima kasih layak kita berikan kepada pihak-pihak yang berada di belakang hajatan ini. Mereka telah -- katakanlah -- berjuang untuk kehormatan puisi justru di tengah belantara situasi yang “prosais”, yang tidak berpihak pada puisi. Kerja keras mereka sudah sepantasnya didukung.
Ucapan selamat tentu kita sampaikan juga kepada para pemenang, Mudah-mudahan hasil lomba ini semakin melecut mereka untuk lebih cinta pada puisi. Sesungguhnya beban berat ada di pundak mereka. Sebab selaku pemenang tentu mereka dituntut untuk membuktikan bahwa kemenangan ini bukan sebuah kebetulan belaka.
Sedangkan untuk mereka yang kalah – di mana saya terikut di dalamnya – baiklah momen ini dijadikan stimulus yang mendorong kita untuk belajar menulis lebih baik. Sesungguhnya “kalah” dan “menang” tidak ada dalam puisi. Atau, kemenangan dan kekalahan itu tidaklah ditentukan oleh hasil sebuah lomba. Kemenangan sesungguhnya adalah kalau kita bisa tetap merawat spirit kreatif kita untuk terus menulis, seraya percaya dan menaruh hormat kepada puisi sebagai “jalan” atau pilihan sikap yang diambil dengan sadar dan bertanggung-jawab.
Ucapan terima kasih layak kita berikan kepada pihak-pihak yang berada di belakang hajatan ini. Mereka telah -- katakanlah -- berjuang untuk kehormatan puisi justru di tengah belantara situasi yang “prosais”, yang tidak berpihak pada puisi. Kerja keras mereka sudah sepantasnya didukung.
Ucapan selamat tentu kita sampaikan juga kepada para pemenang, Mudah-mudahan hasil lomba ini semakin melecut mereka untuk lebih cinta pada puisi. Sesungguhnya beban berat ada di pundak mereka. Sebab selaku pemenang tentu mereka dituntut untuk membuktikan bahwa kemenangan ini bukan sebuah kebetulan belaka.
Sedangkan untuk mereka yang kalah – di mana saya terikut di dalamnya – baiklah momen ini dijadikan stimulus yang mendorong kita untuk belajar menulis lebih baik. Sesungguhnya “kalah” dan “menang” tidak ada dalam puisi. Atau, kemenangan dan kekalahan itu tidaklah ditentukan oleh hasil sebuah lomba. Kemenangan sesungguhnya adalah kalau kita bisa tetap merawat spirit kreatif kita untuk terus menulis, seraya percaya dan menaruh hormat kepada puisi sebagai “jalan” atau pilihan sikap yang diambil dengan sadar dan bertanggung-jawab.
23 January 2007
T i d u r
Tidur barangkali
Sebuah kematian kecil
Kau pun kembali
Buat sesaat lamanya
Ke pusat mimpimu
Muasal segala kisah
Jauh di dasar waktu
Putih telah terbasuh
Tubuhmu yang bernoda
Dengan sendirinya
Dalam tidur bersahaja
Meringkuk pasrah begitu
Kematian sederhana
Tanpa kesedihan
Dan ratap daun-daun
Di atas lunak kasur
Memang tiada struktur
Tidakkah kematian
Sebuah pertemuan
Tanpa rancangan
Tiada perjanjian apa
Antara kini dan nanti
Tak ada sesuatu alur
Dan besok pagi
Kau pun kembali
Dari kelam lorong itu
Jika tidur ternyata
Betul adalah kematian
Sebuah kebangkitan
Sebuah hidup baru
Mestinya tiada cela
Menyilang pada dahi
Juga menunggumu
Besok, ya besok pagi
Mungkin pada jam enam
Sebuah kematian kecil
Kau pun kembali
Buat sesaat lamanya
Ke pusat mimpimu
Muasal segala kisah
Jauh di dasar waktu
Putih telah terbasuh
Tubuhmu yang bernoda
Dengan sendirinya
Dalam tidur bersahaja
Meringkuk pasrah begitu
Kematian sederhana
Tanpa kesedihan
Dan ratap daun-daun
Di atas lunak kasur
Memang tiada struktur
Tidakkah kematian
Sebuah pertemuan
Tanpa rancangan
Tiada perjanjian apa
Antara kini dan nanti
Tak ada sesuatu alur
Dan besok pagi
Kau pun kembali
Dari kelam lorong itu
Jika tidur ternyata
Betul adalah kematian
Sebuah kebangkitan
Sebuah hidup baru
Mestinya tiada cela
Menyilang pada dahi
Juga menunggumu
Besok, ya besok pagi
Mungkin pada jam enam
21 January 2007
Bicara Aritmatika
(Taufiq Ismail)
Kini kita agaknya
Berhak ragu dan bertanya ulang
Apakah dua tambah dua
Masih empat jawabannya
Kini kita agaknya
Berhak ragu dan bertanya ulang
Apakah dua tambah dua
Masih empat jawabannya
Jam Luruh
Jam luruh lagi
Ruang kembali bernama aku
Sedang kau sekadar bayang
Samar di seberang cuaca
Kita mesti bicara
Katamu, di ambang kata
Tapi bahasa agaknya
Hanya dinding
Menjulang antara kita
Jam terus luruh
Ruang masih bernama aku
Kau entah siapa, di mana
Ruang kembali bernama aku
Sedang kau sekadar bayang
Samar di seberang cuaca
Kita mesti bicara
Katamu, di ambang kata
Tapi bahasa agaknya
Hanya dinding
Menjulang antara kita
Jam terus luruh
Ruang masih bernama aku
Kau entah siapa, di mana
19 January 2007
Oewiek Sanuri Emwe, Sejumput Kenangan
Nama Oewiek Sanuri Emwe hampir bisa saya pastikan tidak anda kenal. Maklumlah, yang bersangkutan memang hanya orang “biasa”, bukan tokoh penting atau orang besar. Lagi pula ia sudah marhum hampir seperempat abad yang lalu. Oewiek Sanuri Emwe semasa hidupnya dikenal sebagai penyair yang sebetulnya cukup diperhitungkan. Bahkan seorang Sutarji Calzoum Bachri pernah ikut juga menjagokannya. Sebagai penyair ketika itu ia berada satu “barisan” dengan nama-nama semisal Afrizal Malna, Kriapur (alm), Heru Emka, Beni Setia, dll. Sayang ia pergi begitu lekas.
Ia lahir di Jakarta, 1957. Pendidikan formalnya yang hanya SLA tak menghalanginya untuk berprestasi bagus di dunia sastra. Pada 1980 sebuah puisinya mendapatkan penghargaan dalam sebuah lomba di Semarang. Ia juga bergiat di teater, malah sempat pula mendapatkan penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam Festival Drama Islam di Jakarta. Ia sungguh-sungguh hidup mengandalkan honor tulisannya. Pernah juga membantu majalah sastra Horison. Hamsad Rangkuti, pemimpin redaksi Horison saat itu, menugasinya mengisi halaman Kronik Kebudayaan.
Kemiskinan dan penyakit adalah dua hal yang seolah melekat pada hidupnya. Kemiskinan memaksanya berhenti sekolah. Kemiskinan juga – barangkali ditambah gaya hidup “nyeniman” yang dijalaninya – menyebabkannya gampang jatuh sakit. Ia tak sempat menghadiri upacara pemakaman ibundanya karena ia sendiri saat itu terkapar di ranjang rumah sakit. Kejadian ini agaknya meninggalkan luka yang dalam padanya.
Saya sempat memjenguknya. Ia memohon supaya honor-honor tulisan saya di Berita Buana diserahkan kepadanya untuk membantu biaya pengobatannya. Dengan ringan hati saya sanggupi permintaannya itu. Hubungan kami memang sangat dekat. Saya bahkan hampir menganggapnya “abang” saya. Selasa, 3 September 1985, sore sepulang dari kantor, saya kembali ke rumah sakit dengan menenteng surat kuasa untuk pengambilan honor di Berita Buana itu.
Ketika sampai di ruangan tempat ia dirawat saya heran mendapati ranjang yang biasa ditidurinya sudah kosong. Saya masih tak menduga jelek saat itu. Saya mengira ia sekadar pindah kamar. Ternyata tidak. Oewiek Sanuri Emwe meninggal hari itu, pada pagi harinya. Ia dikuburkan hari itu juga dengan nama Ahmad Sanuri. Sejumlah seniman dan sahabat ikut mengantarnya. Ikranagara berpidato mewakili pihak Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) TIM, tempat almarhum banyak mendedikasikan waktu dan tenaga semasa hidupnya.
Ia lahir di Jakarta, 1957. Pendidikan formalnya yang hanya SLA tak menghalanginya untuk berprestasi bagus di dunia sastra. Pada 1980 sebuah puisinya mendapatkan penghargaan dalam sebuah lomba di Semarang. Ia juga bergiat di teater, malah sempat pula mendapatkan penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam Festival Drama Islam di Jakarta. Ia sungguh-sungguh hidup mengandalkan honor tulisannya. Pernah juga membantu majalah sastra Horison. Hamsad Rangkuti, pemimpin redaksi Horison saat itu, menugasinya mengisi halaman Kronik Kebudayaan.
Kemiskinan dan penyakit adalah dua hal yang seolah melekat pada hidupnya. Kemiskinan memaksanya berhenti sekolah. Kemiskinan juga – barangkali ditambah gaya hidup “nyeniman” yang dijalaninya – menyebabkannya gampang jatuh sakit. Ia tak sempat menghadiri upacara pemakaman ibundanya karena ia sendiri saat itu terkapar di ranjang rumah sakit. Kejadian ini agaknya meninggalkan luka yang dalam padanya.
Saya sempat memjenguknya. Ia memohon supaya honor-honor tulisan saya di Berita Buana diserahkan kepadanya untuk membantu biaya pengobatannya. Dengan ringan hati saya sanggupi permintaannya itu. Hubungan kami memang sangat dekat. Saya bahkan hampir menganggapnya “abang” saya. Selasa, 3 September 1985, sore sepulang dari kantor, saya kembali ke rumah sakit dengan menenteng surat kuasa untuk pengambilan honor di Berita Buana itu.
Ketika sampai di ruangan tempat ia dirawat saya heran mendapati ranjang yang biasa ditidurinya sudah kosong. Saya masih tak menduga jelek saat itu. Saya mengira ia sekadar pindah kamar. Ternyata tidak. Oewiek Sanuri Emwe meninggal hari itu, pada pagi harinya. Ia dikuburkan hari itu juga dengan nama Ahmad Sanuri. Sejumlah seniman dan sahabat ikut mengantarnya. Ikranagara berpidato mewakili pihak Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) TIM, tempat almarhum banyak mendedikasikan waktu dan tenaga semasa hidupnya.
Sajak-Sajak Oewiek Sanuri Emwe (1957-1985)
Justicia
Sepucuk pistol
moncongnya membidik
mulut bergula
(Katanya seekor musang tak
pernah jadi seekor ayam)
Korban tersungkur
dengan lidah terjulur
Catatan Pagi, Setelah Tiga Puluh Hari
1
Sebenarnya aku ingin segelas kopi, sepotong ubi dan
secercah senyum pagi ini
Engkau mematung, matumu tajam menyayat-nyayat
Mengingat benih yang baru kutanam malam kemarin,
aku buka pusaka tua berdarah keluar masuk toko,
Mesjid, Gereja, gedung-gedung mencari rezekiku yang
hilang dimakan waktu
2
Engkau tak berkata : ya atau tidak
tetap mematung seperti puteri kena tenung
3
Aku pulangkan engkau!
Tanah! Tanah! Tanah!
Simpanlah!
4
Ruang ini hampa udara
berputar pada empat dinding
membalikkan hari-hari lalu
Di sana, di tengah hutan sekelompok manusia dingin
menyiapkan tiang salib upacara bagi sang
pembunuh
Tentang Jakarta
Setelah Sodom dan Gomora
Kini Jakarta menyerahkan tubuhnya
untuk dikoyak-moyak dan
dibumihanguskan
Jangan menoleh
Jangan menoleh, adikku!
Kami Punya Satu Rembulan
Kami punya satu rembulan
dan satu matahari
Kadangkala mereka
mendongeng kepada kami
tentang sysypus atau ahasveros
hingga larut malam
diam-diam, tanpa sepengatahuan Ibuku
aku gigit rembulan itu
sementara matahari kutusuk ulu hatinya
dengan pisau pemberian Bapakku!
Siklus 0
Aku berdoa. Tergelincir jatuh. Menari. Dan berdoa lagi
-- menajamkan jejak-jejak di air
kembang-kembang yang taman merekuimkan dunia ajal
hidup dari matahari hujan siraman
- jalan bisu, jalan yang ditumbuhi lalat-lalat
mengerdipkan mata bangkai
dan tangan yang menjulur memotes tengkuk-tengkuknya
melempar jauh ke batas jalan asing --ialah laut diriMu
Aku berdoa. Tergelincir jatuh. Menari dan berdoa lagi
-- menajamkan jejak-jejak di air
(Dipetik dari kumpulan puisi Beri Aku Matahari, penerbit Puisi Indonesia 1985, editor Afrizal Malna)
Sepucuk pistol
moncongnya membidik
mulut bergula
(Katanya seekor musang tak
pernah jadi seekor ayam)
Korban tersungkur
dengan lidah terjulur
Catatan Pagi, Setelah Tiga Puluh Hari
1
Sebenarnya aku ingin segelas kopi, sepotong ubi dan
secercah senyum pagi ini
Engkau mematung, matumu tajam menyayat-nyayat
Mengingat benih yang baru kutanam malam kemarin,
aku buka pusaka tua berdarah keluar masuk toko,
Mesjid, Gereja, gedung-gedung mencari rezekiku yang
hilang dimakan waktu
2
Engkau tak berkata : ya atau tidak
tetap mematung seperti puteri kena tenung
3
Aku pulangkan engkau!
Tanah! Tanah! Tanah!
Simpanlah!
4
Ruang ini hampa udara
berputar pada empat dinding
membalikkan hari-hari lalu
Di sana, di tengah hutan sekelompok manusia dingin
menyiapkan tiang salib upacara bagi sang
pembunuh
Tentang Jakarta
Setelah Sodom dan Gomora
Kini Jakarta menyerahkan tubuhnya
untuk dikoyak-moyak dan
dibumihanguskan
Jangan menoleh
Jangan menoleh, adikku!
Kami Punya Satu Rembulan
Kami punya satu rembulan
dan satu matahari
Kadangkala mereka
mendongeng kepada kami
tentang sysypus atau ahasveros
hingga larut malam
diam-diam, tanpa sepengatahuan Ibuku
aku gigit rembulan itu
sementara matahari kutusuk ulu hatinya
dengan pisau pemberian Bapakku!
Siklus 0
Aku berdoa. Tergelincir jatuh. Menari. Dan berdoa lagi
-- menajamkan jejak-jejak di air
kembang-kembang yang taman merekuimkan dunia ajal
hidup dari matahari hujan siraman
- jalan bisu, jalan yang ditumbuhi lalat-lalat
mengerdipkan mata bangkai
dan tangan yang menjulur memotes tengkuk-tengkuknya
melempar jauh ke batas jalan asing --ialah laut diriMu
Aku berdoa. Tergelincir jatuh. Menari dan berdoa lagi
-- menajamkan jejak-jejak di air
(Dipetik dari kumpulan puisi Beri Aku Matahari, penerbit Puisi Indonesia 1985, editor Afrizal Malna)
17 January 2007
Sakramen
Kami makan
Tubuh tuhan
Dan minum
Juga darahnya
Manis macam sereal
Maka kami
Bakal tahan
Kalau cuma kesepian
Bahkan kematian
Mendatangi dari depan
Kami percaya
Engkau ada
Nyaman mendekam
Berkawal dalam
Badan sakitan ini
Sebab kami
Sudah minum darahnya
Dan makan
Juga tubuhnya
Tubuh tuhan
Dan minum
Juga darahnya
Manis macam sereal
Maka kami
Bakal tahan
Kalau cuma kesepian
Bahkan kematian
Mendatangi dari depan
Kami percaya
Engkau ada
Nyaman mendekam
Berkawal dalam
Badan sakitan ini
Sebab kami
Sudah minum darahnya
Dan makan
Juga tubuhnya
15 January 2007
Di Halamanmu
Tanpa judul
Kuhampiri alamatmu
Kuketuk pelan pintumu
Dengan semacam igauan
Yang dititipkan cuaca
Barangkali tak pernah
Sempat kau tangkap
Langkah-langkah musim
Mendatangi pekarangan
Lewat sekian peperangan
Panjang dan rusuh
Senja pun hanya batas
Jingga yang merapat
Pada tepi serambi
Pada malam yang berkemas
Rahasia menyudahi ruang
Merampung kenang
Tanpa judul
Kutinggalkan baris-baris ini
Di halamanmu
Kuhampiri alamatmu
Kuketuk pelan pintumu
Dengan semacam igauan
Yang dititipkan cuaca
Barangkali tak pernah
Sempat kau tangkap
Langkah-langkah musim
Mendatangi pekarangan
Lewat sekian peperangan
Panjang dan rusuh
Senja pun hanya batas
Jingga yang merapat
Pada tepi serambi
Pada malam yang berkemas
Rahasia menyudahi ruang
Merampung kenang
Tanpa judul
Kutinggalkan baris-baris ini
Di halamanmu
14 January 2007
Ruang Dalam Sajak
Kusisakan sehampar ruang kosong
di sini. Masuklah dan pilih saja sendiri
pojok yang kausuka. Barangkali,
sebaiknya dekat tanda koma, ceruk
samar sebelum titik dinoktahkan. Boleh juga,
kalau kau memang suka, main-main dengan sejumlah
tanda tanya. Terserah saja, tapi
tak kusarankan meringkuk dekat judul --
itu semata tipuan. Kau paham yang kumaksud?
di sini. Masuklah dan pilih saja sendiri
pojok yang kausuka. Barangkali,
sebaiknya dekat tanda koma, ceruk
samar sebelum titik dinoktahkan. Boleh juga,
kalau kau memang suka, main-main dengan sejumlah
tanda tanya. Terserah saja, tapi
tak kusarankan meringkuk dekat judul --
itu semata tipuan. Kau paham yang kumaksud?
12 January 2007
Sastra Koran
DI MATA seorang Katrin Bandel kaberadaan “sastra koran” lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya.(periksa bukunya “Sastra, Perempuan, Sex, Jalasutra 2006). Ia misalnya menyebut sastra koran hanya menjadi ajang elitis tempat kangen-kangenan sejumlah nama yang terlibat di dalamnya.
Sastra koran menjadi tempat para penulisnya saling melempar pujian, seraya menggoblok-goblokan pihak lain yang dianggap lawan. Sastra koran menjadi rawan disalahgunakan untuk kepentingan lain yang di luar sastra, karena posisi redakturnya yang boleh dikata “maha kuasa”.
Dari segi mutunya, sastra koran juga layak dikasihani. Kadang-kadang memang ada tulisan bagus, katanya, tapi jauh lebih banyak yang payah. Banyak esai yang dibuat serampangan, asal kelihatan keren dan gagah dengan banyak mengutip statemen heboh tokoh terkenal tanpa jelas konteksnya dengan esainya sendiri.
Genre sastra lainnya seperti cerpen juga setali tiga uang. Karena sempitnya kuota halaman yang disediakan, cerpen-cerpen di koran akhirnya sering terjebak menjadi cerpen yang betul-betul “pendek” – pendek ceritanya, pendek juga bobot sastranya. Kiranya klausul minimnya kuota halaman ini harus disebut juga sebagai salah satu penyebab banyaknya esai yang dibuat serba tanggung di koran.
Tapi di mata saya, keberadaan “sastra koran” masih lebih banyak manfaatnya. Memang ada kelemahan di sana-sini, seperti disebut Katrin Bandel di atas. Tapi mungkin sebaiknya kita bersikap lebih rileks menghadapinya. Bagi saya halaman-halaman sastra koran – dengan segala plus minusnya – menjadi alternatif yang layak disyukuri di tengah langkanya media sastra – yang dianggap layak dan “standar” – sekarang ini.
Sedikit tambahan, mungkin ada baiknya juga kita pintar-pintar memilih koran yang akan kira kirimi tulisan. Sebab, seperti kata Katrin Bandel. yang disebut “redaktur tolol” dan “sok kuasa” itu memang sungguh ada. Nah, redaktur-redaktur yang kerjanya senang bikin bingung ini, hemat saya sebaiknya, maaf, dijauhi saja.
Sastra koran menjadi tempat para penulisnya saling melempar pujian, seraya menggoblok-goblokan pihak lain yang dianggap lawan. Sastra koran menjadi rawan disalahgunakan untuk kepentingan lain yang di luar sastra, karena posisi redakturnya yang boleh dikata “maha kuasa”.
Dari segi mutunya, sastra koran juga layak dikasihani. Kadang-kadang memang ada tulisan bagus, katanya, tapi jauh lebih banyak yang payah. Banyak esai yang dibuat serampangan, asal kelihatan keren dan gagah dengan banyak mengutip statemen heboh tokoh terkenal tanpa jelas konteksnya dengan esainya sendiri.
Genre sastra lainnya seperti cerpen juga setali tiga uang. Karena sempitnya kuota halaman yang disediakan, cerpen-cerpen di koran akhirnya sering terjebak menjadi cerpen yang betul-betul “pendek” – pendek ceritanya, pendek juga bobot sastranya. Kiranya klausul minimnya kuota halaman ini harus disebut juga sebagai salah satu penyebab banyaknya esai yang dibuat serba tanggung di koran.
Tapi di mata saya, keberadaan “sastra koran” masih lebih banyak manfaatnya. Memang ada kelemahan di sana-sini, seperti disebut Katrin Bandel di atas. Tapi mungkin sebaiknya kita bersikap lebih rileks menghadapinya. Bagi saya halaman-halaman sastra koran – dengan segala plus minusnya – menjadi alternatif yang layak disyukuri di tengah langkanya media sastra – yang dianggap layak dan “standar” – sekarang ini.
Sedikit tambahan, mungkin ada baiknya juga kita pintar-pintar memilih koran yang akan kira kirimi tulisan. Sebab, seperti kata Katrin Bandel. yang disebut “redaktur tolol” dan “sok kuasa” itu memang sungguh ada. Nah, redaktur-redaktur yang kerjanya senang bikin bingung ini, hemat saya sebaiknya, maaf, dijauhi saja.
10 January 2007
Tanpa Judul
Kalau nanti menulis lagi
Coba sisakan beberapa baris
Kosong, supaya lebih leluasa
Saya melongok ke sana
Tak usah pakai judul
Sebagai tipuan, apalagi titik
Berhenti saja pada koma
Pada luka masih menganga
Coba sisakan beberapa baris
Kosong, supaya lebih leluasa
Saya melongok ke sana
Tak usah pakai judul
Sebagai tipuan, apalagi titik
Berhenti saja pada koma
Pada luka masih menganga
08 January 2007
Puisi Akan Mengubahmu
Puisi akan mengubahmu
Mungkin lebih buruk akhirnya
Sebab sekonyong kau pun sadar
Betapa kau sendirian di jalan
Akan kau lalui sejalur kelam
Lebih malam dari biasanya
Rumah-rumah mengatup rapat
Pun tak ada alamat dalam saku
Perjalanan akan lebih berat
Tapi puisi akan mengangkatmu
Sedikit lebih tinggi dari cuaca
Hampir menyentuh sayap malaikat
Hingga pandangmu menembus
Batas-batas terjauh dari kata
Di mana puisi lalu mengubahmu
Mengubahmu dari sekadar bayang
Mungkin lebih buruk akhirnya
Sebab sekonyong kau pun sadar
Betapa kau sendirian di jalan
Akan kau lalui sejalur kelam
Lebih malam dari biasanya
Rumah-rumah mengatup rapat
Pun tak ada alamat dalam saku
Perjalanan akan lebih berat
Tapi puisi akan mengangkatmu
Sedikit lebih tinggi dari cuaca
Hampir menyentuh sayap malaikat
Hingga pandangmu menembus
Batas-batas terjauh dari kata
Di mana puisi lalu mengubahmu
Mengubahmu dari sekadar bayang
07 January 2007
Mazhab Mbeling
PUISI MBELING sebagai “gerakan” kini tinggal sejarah. Tokoh-tokohnya pun sudah pada beranjak tua, dan tidak “badung” lagi. Sebagaimana diketahui gerakan ini “mewabah” sekitar 1971-1972 sebagai bentuk ketidakpuasan sejumlah penulis puisi terhadap apa yang mereka sebut “kemapanan” (baca : “kemacetan”) sekelompok sastrawan senior yang berkerumun di sekitar majalah sastra Horison, yang saat itu – suka tidak suka -- menjadi satu-satunya barometer pencapaian sastra kita.
Pemimpin “gerakan” ini, Remy Silado, kepada para “pengikutnya” menawarkan “resep” menulis puisi yang berbeda dengan “resep” yang dijajakan Horison saat itu. Dalam wawancara dengan sebuah radio swasta di Jakarta (sekitar 1978), ia menandaskan bahwa tempat puisi bukan di kepala, melainkan di kaki. Maksudnya mungkin, kerja menulis puisi, dan puisi itu sendiri, tidak usahlah sampai disembah-sembah atau dikeramat-keramatkan layaknya berhala.
Implementasinya dalam praksis penciptaan , para penyair mbeling hadir dengan satu ciri utama yang menonjol, yaitu kuatnya semangat bermain-main dalam puisi mereka. Maka kelakar, olok-olok, dan cemooh menjadi hal yang biasa bahkan mungkin “wajib” dalam puisi mbeling. Untuk sekadar menyegarkan ingatan berikut dikutipkan dua contoh puisi mbeling. Yang pertama ditulis Mahawan, sedang puisi kedua ditulis Remy Silado sendiri.
Teka-Teki
Saya ada dalam puisi
Saya ada dalam cerpen
Saya ada dalam novel
Saya ada dalam roman
Saya ada dalam kritik
Saya ada dalam esei
Saya ada dalam wc
Siapakah saya?
Jawab: HB Jassin
Teks atas Descartes
Orang Perancis berpikir
maka
mereka ada.
Orang Indonesia
tidak berpikir
namun terus ada.
Sekali lagi. puisi mbeling sebagai “gerakan”memang sudah “tinggal” sejarah, tapi spirit yang pernah mereka tularkan dulu kiranya belum lagi mati. Atau, sebaiknya janganlah sampai mati. Kita hendaknya, seperti para mbeling dulu, harus tidak bosan-bosannya bermain-main, berkelakar, mengolok-olok segala bentuk “kemapanan” (sekali lagi, baca : “kemacetan”) yang dipaksakan dari luar, ataupun yang dengan sengaja atau bukan, sadar atau tidak, kita kalungkan sendiri sebagai jerat – yang “nikmat” – di leher kita.
Pemimpin “gerakan” ini, Remy Silado, kepada para “pengikutnya” menawarkan “resep” menulis puisi yang berbeda dengan “resep” yang dijajakan Horison saat itu. Dalam wawancara dengan sebuah radio swasta di Jakarta (sekitar 1978), ia menandaskan bahwa tempat puisi bukan di kepala, melainkan di kaki. Maksudnya mungkin, kerja menulis puisi, dan puisi itu sendiri, tidak usahlah sampai disembah-sembah atau dikeramat-keramatkan layaknya berhala.
Implementasinya dalam praksis penciptaan , para penyair mbeling hadir dengan satu ciri utama yang menonjol, yaitu kuatnya semangat bermain-main dalam puisi mereka. Maka kelakar, olok-olok, dan cemooh menjadi hal yang biasa bahkan mungkin “wajib” dalam puisi mbeling. Untuk sekadar menyegarkan ingatan berikut dikutipkan dua contoh puisi mbeling. Yang pertama ditulis Mahawan, sedang puisi kedua ditulis Remy Silado sendiri.
Teka-Teki
Saya ada dalam puisi
Saya ada dalam cerpen
Saya ada dalam novel
Saya ada dalam roman
Saya ada dalam kritik
Saya ada dalam esei
Saya ada dalam wc
Siapakah saya?
Jawab: HB Jassin
Teks atas Descartes
Orang Perancis berpikir
maka
mereka ada.
Orang Indonesia
tidak berpikir
namun terus ada.
Sekali lagi. puisi mbeling sebagai “gerakan”memang sudah “tinggal” sejarah, tapi spirit yang pernah mereka tularkan dulu kiranya belum lagi mati. Atau, sebaiknya janganlah sampai mati. Kita hendaknya, seperti para mbeling dulu, harus tidak bosan-bosannya bermain-main, berkelakar, mengolok-olok segala bentuk “kemapanan” (sekali lagi, baca : “kemacetan”) yang dipaksakan dari luar, ataupun yang dengan sengaja atau bukan, sadar atau tidak, kita kalungkan sendiri sebagai jerat – yang “nikmat” – di leher kita.
Subscribe to:
Posts (Atom)