SIAPA lebih “besar” : Tarji atau Chairil? Anda punya jawabannya? Saya sih tidak, tapi menurut Maman Mahayana, kritikus dan pengajar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Tarji “lebih besar” dari Chairil (Koran Tempo, 10 Juli 2007). Sayang sekali tak banyak penjelasan untuk penilaian yang “berani” itu. Hanya sang kritikus ada berkata bahwa “ini wacana, jadi terserah boleh setuju atau tidak”.
Bagi saya sendiri pertanyaan di atas sulit dicarikan jawabannya. Lagi pula apa ukuran yang mau dipakaikan untuk penilaian itu? Tarji dan chairil adalah sesama “pendobrak” dalam khazanah puisi kita. Chairil berjasa besar karena menyadarkan kita bahwa bahasa Indonesia ternyata bisa menghasilkan bentuk ekspresi sastra yang sebelumnya tak pernah sanggup dibayangkan.
Seperti Chairil, Tarji pun muncul pada saat yang tepat. Ia datang ke panggung puisi kita tatkala atmosfir puisi kita “dikuasai” oleh trio Goenawan-Sapardi-Abdul Hadi. Seperti Chairil, Tarji pun berjasa besar karena sudah mengingatkan kita bahwa di luar pola puisi yang ditawarkan tiga nama besar itu, masih ada celah dan peluang penciptaan yang lain. Kreativitas selalu menemukan jalannya sendiri.
Seperti kritikus Dami N Toda (alm), Maman Mahayana mengibaratkan Chairil dan Tarji sebagai “mata kiri” dan “mata kanan” dalam khazanah sastra kita. Jadi, kalau mereka adalah “mata kiri” dan “mata kanan” mengapa harus ada pertanyaan “siapa lebih besar” di antara keduanya? Bisakah salah satu mata dianggap “lebih penting” dari mata yang satunya? Sungguh pertanyaan yang “kurang kerjaan”. Maunya polemis, tapi kelewat kempis mutu soalnya.
Bagi saya sendiri pertanyaan di atas sulit dicarikan jawabannya. Lagi pula apa ukuran yang mau dipakaikan untuk penilaian itu? Tarji dan chairil adalah sesama “pendobrak” dalam khazanah puisi kita. Chairil berjasa besar karena menyadarkan kita bahwa bahasa Indonesia ternyata bisa menghasilkan bentuk ekspresi sastra yang sebelumnya tak pernah sanggup dibayangkan.
Seperti Chairil, Tarji pun muncul pada saat yang tepat. Ia datang ke panggung puisi kita tatkala atmosfir puisi kita “dikuasai” oleh trio Goenawan-Sapardi-Abdul Hadi. Seperti Chairil, Tarji pun berjasa besar karena sudah mengingatkan kita bahwa di luar pola puisi yang ditawarkan tiga nama besar itu, masih ada celah dan peluang penciptaan yang lain. Kreativitas selalu menemukan jalannya sendiri.
Seperti kritikus Dami N Toda (alm), Maman Mahayana mengibaratkan Chairil dan Tarji sebagai “mata kiri” dan “mata kanan” dalam khazanah sastra kita. Jadi, kalau mereka adalah “mata kiri” dan “mata kanan” mengapa harus ada pertanyaan “siapa lebih besar” di antara keduanya? Bisakah salah satu mata dianggap “lebih penting” dari mata yang satunya? Sungguh pertanyaan yang “kurang kerjaan”. Maunya polemis, tapi kelewat kempis mutu soalnya.
2 comments:
tak soal benar
siapa paling besar
karena...
walau penyair besar
takkan sebatas allah
iya, masak sih harus besar2 an, mas? tapi kalo ada argumen yg bs dipertanggung jawabkan sih gapa2. jujur, saya lebih terkesan pada chairil, mas. kalo mas ook?
Post a Comment