TERJEBAK dalam “musim paceklik puisi” adalah kejadian yang cukup sering saya alami. Meskipun pengalaman selama ini mengajarkan bahwa “musim kering puisi” itu hanya sebuah siklus biasa dalam perjalanan saya selaku penulis, entah mengapa rasa gelisah (dan cemas itu) terus saja (kembali) hadir. Saya cemas, misalnya, jangan-jangan kali ini saya memang segera “tamat” sebagai penyair. (Kalau tak ada sajak lagi yang bisa kita tulis, masihkah kita penyair?)
Nah, sudah dua bulan lebih ini saya mengalani kembali musim kering itu. Saya coba runut kembali kejadiannya. Oh, ternyata sebelum itu terjadi memang sudah ada rasa jenuh dan “lelah” kepada puisi .Itu pun bukan kejadian luar biasa menurut saya--manusiawi dan wajar saja bahwa seorang penyair pun sesekali merasa “capek” kepada puisinya. Mungkin sama wajar dan manusiawinya seperti kalau kita sesekali juga suka merasa “lelah” dengan pasangan kita?
Lalu yang saya lakukan untuk mengisi saat vakum itu biasanya adalah “jajan”, mencari selingan, karena ada petuah bagus yang bilang bahwa kalau kita suatu saat tidak bisa “kreatif”, setidaknya kita musti bisa tetap “produktif”. Dan “jajanan” saya kali ini (supaya bisa tetap produktif) adalah kitab-kitab cerita silat wuxia, jenis bacaan yang sering dilecehkan sebagai “klangenan” tidak bermutu oleh sebagian orang yang merasa punya selera seni “adiluhung”.
Mungkin saking “seru dan dahsyat”nya novel-novel itu saya pun jadi mendadak rajin berolah-tubuh (yang sudah sekian lama saya abaikan) setiap hari, seraya dengan lahap menyantap halaman-halaman literatur seputar martial art. Dalam kungkungan atmosfer seperti itulah antara lain sajak “Pesilat”, yang dimuat di halaman ini beberapa waktu yang lalu, tercipta.
Syahdan, sesudah luntang-lantung mengembara di dunia “sungai telaga” sekian lama, berjumpa dan “bertarung” dengan sekian tokoh aneh dan sakti dari berbagai golongan, saya pun mulai menjadi letih dan kini berbalik merasa “kangen” kembali untuk “berolah-rasa”, untuk pulang kepada kata, kepada puisi.
Masalahnya kemudian ternyata yang saya kangeni ini seperti jual mahal. Saya sudah mencoba memanggilnya, membelainya, merayunya, belum ada hasilnya juga. Meski saya termasuk yang meyakini bahwa puisilah yang sering “mendatangi” penyair, tapi dari pihak penyair rupanya dituntut semacam syarat. Ia harus sungguh dalam kondisi “mabuk kepayang” kepada puisi, berada dalam tangkapan atmosfer puitik seintens mungkin. Ia harus dalam kondisi sungguh “on” ketika puisi sesewaktu datang memergokiya.
Barangkali syarat inilah yang belum sepenuhnya saya penuhi. Sebagian dari diri saya mungkin masih tertinggal di puncak permai berkabut gunung Wudang, terumbang-ambing bersama Zhang San Feng (atawa Thio Sam Hong), konon peletak dasar Tai Chi, merenungi keindahan sekaligus kedahsyatan tersembunyi dedahan pinus. Atau tenggelam dalam khusuk samadi bersama para rahib sepuh, di ruang sunyi angker Tat Mo Tong, di kuil Siauwlim, di gunung Siong San sana …
2 comments:
Puisi kadang perlu istirahat, Bung.
Saya kira anda benar, bung.
Post a Comment