https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=34375937#settings

19 November 2006

T a h y u l

SASTRA Indonesia modern, meskipun menyandang predikat "modern", ternyata tidak terbebas dari "tahyul". Dari masa ke masa, dari angkatan ke angkatan, tahyul itu dengan cermat dan takzim terus dijaga dan dipelihara oleh para penyembah setianya.

Di tahun 50'an tahyul itu bernama Majalah "Kisah" dan HB Jassin. Pada masa itu, siapa saja yang kepingin diakui sebagai sastrawan haruslah mengurus "ijazahnya" ke HB Jassin. Celakalah mereka yang gagal mendapatkannya, karena konsekuensinya martabat kesastrawanan mereka akan jadi kurang legitimate. Almarhum Trisno Sumarjo konon pernah mengalami hal semacam ini. Dengan memelas ia akhirnya menyurati Jassin, menanyakan kenapa gerangan "sang paus sastra" itu tidak juga menowel karya-karyanya.

Di zaman sesudahnya, tahyul itu bersalin rupa menjadi Majalah Sastra Horison. Di masa itu untuk bisa diakui resmi sebagai sastrawan, seorang penulis haruslah bisa menembus halaman-halaman majalah sastra yang tipis, omzetnya cuma 3000, dan waktu terbitnya juga suka tidak menentu itu. Tidak peduli berapa bagus sajakmu atau cerpenmu, sebelum sajakmu atau cermenmu itu bisa nongol di Horison, maka kau masih bukan apa-apa.

Dan kalau derajat kesastawananmu kepingin lebih lengkap, ada satu ujian lagi yang mesti ditembus : TIM, dengan Dewan Kesenian Jakartanya. Di tahun 70'an khususnya, sampai awal 80'an, pamor TIM begitu mencorong. TIM waktu itu sering digembar-gemborkan sebagai tempat "pembantaian" para sastrawan yang baru mau mulai pasang merek. Kalau anda bisa sukses melewati ajang pembantaian itu, bereslah sudah. Maka diundang ke TIM pada masa itu menjadi impian banyak sastrawan kita.

Biasanya kalau tahapan-tahapan itu bisa dilalui dengan sukses, akan ada "bonus" yang didapat. Bonusnya biasanya berupa undangan baca puisi di Roterdam, atau diundang dolan-dolan ke Iowa City. Yah, paling apes-apesnya anda akan bisa keluyuran gratis ke Brunei Darusalam. Lalu biasanya juga tawaran atau akses ke penerbit jadi lebih gampang dan mulus.

Saya tak tahu, hari-hari ini "tahyul" apa lagi yang menjagkiti kehidupan sastra kita. Ada desas dan desus yang mengatakan bahwa rubrik puisi koran Kompas Minggu kini mendapat giliran dijadikan tahyul dan berhala baru. Apa iya?

1 comment:

Anonymous said...

31.
Teknologi jaringan internet dan buku digital memungkinkan kita mempertanyakan makna dan fungsi dari keberadaan penerbit dan editor-cum-kritikus profesional, khususnya dalam wilayah publikasi puisi. Keberadaan makelar dan benalu ini berpotensi menjadi kendala yang tak perlu ada dalam interaksi penyair-pembaca. Penerbit dengan studi kelayakan proyeknya dan kritikus denga uji kelayakan sastrawinya seringkali malah berpolah laku lucu. Tetapi ini akan membuat dunia sastra dipenuhi sampah, begitu mungkin sergah anda. Ya, tetapi sebagai pembaca saya lebih suka mengunyah sampah yang saya pilih sendiri daripada harus menelan sampah yang dipilih dan disumpalkan oleh orang yang tidak saya kenal yang merasa begitu percaya diri untuk menganggap dirinya lebih cerdas dan berwawasan dari penulis dan pembaca sajak lainnya. Lagi pula proses memilah milih antara sampah, rombengan, loyang, emas dan berlian itulah yang justru lebih bermanfaat untuk kesehatan intelektual dan mental saya sendiri. Keberadaan penerbit menuntut puisi diperlakukan sebagai komoditas yang bernilai ekonomis murni, karenanya lalu ada harga produksi, biaya distribusi dan promosi serta harga jual. Harga ini lalu menjadi penentu siapa yang bisa membeli dan memiliki sajak-sajak. Buku seharga Rp 50.000 misalnya, jelas mengumumkan bahwa mereka yang hanya memiliki Rp 49.975 dalam kantongnya belumlah layak memperoleh hak masuk ke karya-karya dalam buku dimaksud. Begitu pula dengan cakupan jaringan distribusi yang kadang terbatas pada rantai toko buku atau kota tertentu saja. Sementara menulis puisi tidaklah melibatkan ongkos finansial yang berarti dan jaringan internet memungkinkan suatu karya diakses oleh pembaca dalam jumlah lebih besar dan dari wilayah geografis lebih luas. Lagi pula, sejak dahulu dan di negara manapun, nyaris mustahil penyair hidup dari royalti yang tak setimpal itu. Fungsi seleksi ini selanjutnya (sebagaimana memang seharusnya) diambil alih dan dijalankan kembali oleh penulis dan pembaca sendiri. Lantas apa yang harus dilakukan penerbit dan editor-cum-kritikus profesional? Arahan saya, mereka sebaiknya berkonsentrasi pada proyek-proyek yang memang memiliki prospek komersial, seperti karya novel atau lukisan. Mereka juga bisa berlatih untuk menjadi penulis sajak yang baik dan benar atau memosisikan diri sebagai pembaca yang lebih rendah hati.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...